Cerpen

Balada Nini; Pergi Yang Tak Pernah Pulang

Balada Nini; Pergi Yang Tak Pernah Pulang

Balada Nini; Pergi Yang Tak Pernah Pulang

 

Gadis itu menemukan dirinya sedang terikat di antara semak-semak duri. Tangan dan kakinya penuh luka memar. Rambut di kepalanya berantakan tak teratur. Sedang sepotong kain kecil di badannya sudah tersobek menyisahkan bekas-bekas najis tangan seorang lelaki bengis. Di paha gadis itu tertulis “Kepadamu ku tumpahkan segala kesialanku”. Kata-kata ini seperti sebuah pertanda bahwa sudah banyak wanita yang telah dirusakan oleh lelaki biadab itu.

Nini adalah seorang gadis remaja berumur dua puluh tiga tahun. Ia berasal dari sebuah kampung kecil di pedalaman Manggarai Timur. Januari tahun 2017 yang lalu, Nini memberanikan dirinya untuk ikut bersama beberapa orang lelaki yang katanya adalah para pencari kerja untuk sebuah perusahaan swasta di Malaysia. Ketika itu, Nini ditawari gaji besar plus jaminan hidup yang tinggi. Di tengah keadaan ekonomi keluarga yang serba kekurangan, Nini pun akhirnya mengikuti tawaran itu. Seminggu kemudian ia pergi meninggalkan kampung halamannya dan berangkat menuju pelabuhan bersama beberapa orang temannya dari kampung tetangga. Pada bulan Desember tahun 2017 menjelang hari raya Natal, Nini sempat menghubungi keluarganya untuk sekadar memberi kabar dan mengirimi adiknya sejumlah uang untuk biaya sekolah. Di sela-sela pembicaraannya dengan keluarga, Nini tidak memberitahukan perihal pekerjaan yang sedang ia geluti di negeri Jiran itu. Namun yang pasti bahwa ia menjanjikan keluarganya untuk sebuah kehidupan yang layak dari hasil kerjanya tersebut.

Setahun berlalu, Nini tak kunjung memberi kabar lagi. Seperti kepulan asap di musim kemarau, Nini hilang dibawa angin tak tentu arah. Keluarganya mencoba menghubunginya lewat nomor baru yang pernah ia kirimkan, namun sepertinya sia-sia. Nini tetap saja tak bisa dihubungi. Pernah sesekali mereka meminta bantuan ke kepala desa untuk menghubungi polisi agar bisa menyelidiki keberadaan Nini di Malaysia. Namun sekali lagi, usaha itu tak menemukan titik terang. Sejak saat itu, keluarga dan orang-orang sekampungnya mulai tidak peduli lagi dengan keberadaan Nini. Mereka hanya pasrah kepada Tuhan yang akan mengatur semuanya menjadi baik.

***

Pagi itu, Nini dibangunkan oleh suara lonceng yang keras. Ia diperintahkan agar segera bersiap-siap untuk bekerja. Sudah setengah tahun lamanya, Nini dipaksa bekerja sebagai seorang pekerja seks komersial di sebuah kelab malam. Nini dipaksa melayani para lelaki buas yang datang dari berbagai tempat. Seorang wanita berbadan tegap berdiri di depan Nini dengan. Wanita itu rupanya seorang bos di kelab malam itu. Ia bekerja memanen uang murah dari usahanya menjual gadis-gadis ke para lelaki yang kehausan aroma tubuh para gadis-gadis cantik.

“Hey kamu gadis cantik yang bodoh. Pagi ini kamu harus melayani seorang bos besar dari kota. Kamu harus bersungguh-sungguh, karena uang yang diberinya cukup besar. Tak perlu ragu-ragu. Jika perlu kamu harus jadi selirnya”, ucap wanita itu, sambil mengisap sebatang rokok.

“Ia Mam..”, jawab Nini dengan raut wajah yang cemas.

“Jika kamu tidak melayaninya dengan sungguh, maka kamu akan mendapat hukuman berat dari para bodyguard”, sambungnya dengan mata melotot ke arah Nini.

Biar bagaimanapun, Nini adalah seorang gadis yang tumbuh dari keluarga yang sederhana dan sejak kecil diajarkan untuk tahu menghargai diri sendiri. Keadaan inilah yang terus merasuki pikiran Nini di atas ranjang setiap kali ia melakukan perintah bosnya. Bahkan ketika ingin melepas kancing bajunya, Nini selalu teringat akan pesan orangtuanya di kampung agar sesampainya di kota nanti ia harus bisa menjaga dirinya sendiri. Mengingat itu, Nini seakan sedang melukai dirinya lebih dalam dan sambil meneteskan air mata, ia melakukan pekerjaannya itu dengan terpaksa.

Belum genap setahun bekerja, Nini memberanikan diri untuk berhenti dari pekerjaannya dan kabur dari kelab malam itu. Nini mencoba mencari bantuan orang-orang di sekitar kelab malam itu agar bisa menyembunyikan dirinya untuk sementara waktu. Namun usahanya gagal. Nini malah didapati oleh seorang lelaki psikopat yang tak sengaja datang dari sebelah jalan dengan sebuah mobil tua. Dengan paksaan yang kejam, Nini ditarik masuk ke mobil lelaki itu. Dengan tenaga yang tersisa dan sepotong kain kecil yang masih menempel di badannya, Nini berusaha untuk keluar dari mobil tua itu. Namun sesaat kemudian, pengelihatannya mulai kabur, rupanya Nini dibius hingga tak sadarkan diri. Lelaki psikopat itu membawa Nini ke sebuah tempat yang jauh dari pandangan mata orang-orang. Nini dijadikan santapan malam yang mengenyangkan raga.

***

Beberapa hari sesudahnya, Gadis itu menemukan dirinya sedang terikat di antara semak-semak duri. Tangan dan kakinya penuh luka memar. Rambut di kepalanya berantakan tak teratur. Sedang sepotong kain kecil di badannya sudah tersobek menyisahkan bekas-bekas najis tangan seorang lelaki bengis. Di paha gadis itu tertulis “Kepadamu ku tumpahkan segala kesialanku”. Kata-kata ini seperti sebuah pertanda bahwa sudah banyak wanita yang telah dirusakan oleh lelaki biadab itu. Gadis yang bernama Nini itu tidak pernah lagi berniat untuk kembali ke kampungnya. Ia sadar bahwa dirinya tidak seanggun seperti saat ia datang dulu. Kini ia menemukan dirinya telah rusak diterkam banyak tangan dan tubuh lelaki yang selalu mencari kenikmatan sesaat. Ia dijual untuk memanen uang murah, sedang dirinya sering tak terurus.

Maka, di sini di laut derita ini. Apa yang dapat ku katakan kepada Tuhan yang menciptakan aku serupa dan segambar dengan diri-Nya. Atau apakah aku masih bisa berkata Tuhan itu adil bagiku yang sedang menderita ini. Aku Nini, si gadis malang yang pergi namun tak pernah kembali. Aku hilang namun tak pernah didapati kembali. Cukup aku yang begini. Kalian jadilah wanita yang tahu menjaga diri dari lelaki yang haus dan buas.

 

Andy Denatalis,

Maria; Wanita Penabur Luka

Maria; Wanita Penabur Luka

Namaku Leo. Usiaku dua puluh tiga tahun lebih sedikit. Aku seorang mahasiswa semester tiga jurusan filsafat. Ini kisahku. Pada satu musim dingin pertengahan Februari, aku tak sengaja bertemu seorang gadis bernama Maria. Ia berusia sedikit lebih muda dariku. Parasnya secantik melati di tengah semak. Matanya seteduh telaga. Untuk perjumpaan yang tak ku sangka-sangka ini, aku melukiskannya demikian. Pagi itu Aku menemukanmu di antara sekian banyak orang yang sedang antri menunggu taksi di halte kampus. Tak sengaja mata ini menaruh lirikan tepat pada wajahmu. Sungguh, sejenak jantungku berhenti berdetak. Aku hampir tak berdaya melihat indahnya senyum dan tatapan matamu yang teduh itu. Memang benar kata orang, cinta selalu tak disangka-sangka dan diterka kapan ia datang. Atau mungkin juga engkau sengaja tiba tepat di depan mataku. Setelah perjumpaan kita yang pertama itu, aku selalu terlena dalam bayangan tentang dirimu. Ingatan tentangmu bergelantungan di dalam kepalaku.

 Beberapa hari sesudahnya, kita tak sengaja bertemu lagi di pendopo ruangan kelas. Ngeri benar ku rasa. Tampilanmu amat memukau mengacaukan seluruh ingatanku tentang keburukan. Yang hadir dalam kepalaku hanyalah keindahan. Lagi-lagi, senyumanmu mampu memikatku dalam hitungan detik. Kehadiranmu dalam kepalaku menata kembali kepingan-kepingan perasaan yang sudah lama berserakkan. Sungguh kurasa perjumpaan kita kali ini membuat rindu ini menggunung setiap saat. Aku merasa seakan-akan Tuhan sangat peduli denganku, hingga Ia titipkan satu bidadari untukku letakkan semua isi hati dan pikiranku. Bertemu denganmu seperti aku menemukan satu hal penting yang selama ini ku cari-cari dan kunantikan kedatangannya. Bertemu dan berjumpa denganmu membuat diriku selalu bergairah untuk hidup lebih lama lagi kemudian menghabiskan seluruh waktu bersamamu selamanya. Sekali waktu aku pernah berkhayal tentang kita yang sudah bersepakat menyatakan YA di hadapan Tuhan. Asyik memang memilikimu. Bagaimana tidak, wajahmu hampir selalu ada di sudut mataku. Pandanganku tak pernah kabur setiap melihatmu. Ketika kupegang tanganmu, sungguh terasa lembut dan menenangkan hati. Lalu kemudian aku berjanji untuk menjaga dan mencintaimu sepanjang hayat. Begitulah caraku berkhayal. Sungguh mengasyikkan, apalagi denganmu apapun itu selalu membahagiakan bagiku.

Waktu berlalu, pertemanan kita pun kian mesra. Sebelum tanggal empat belas Februari yang sering orang sebut dengan hari kasih sayang tiba, aku memberanikan diri untuk mengajakmu pergi ke restoran termahal di kota. Tidak lain adalah aku ingin memasang kembali tulang rusukku yang sempat hilang. Sewaktu tiba, aku tak sempat mengucapkan sepatah kata pun. Yang kudengar, yang kulihat hanyalah dirimu yang sedang mengalihkan perhatian tepat ke sudut ruangan itu. Aku seakan-akan melihat ada satu bayangan seorang lelaki berada tepat di sudut matamu.  Aku sangat yakin itu bukan diriku. Seharusnya memang aku. Tapi sayangnya, engkau lebih memilih lelaki itu. Memang aku sadar kalau aku tak punya banyak hal yang bisa dibanggakan. Jangankan harta berlimpah, ibu saja aku tak punya. Tapi, engkau harusnya tahu kalau aku seringkali mengabaikan kebutuhan diriku hanya untuk memenuhi keperluanmu yang tidak biasa-biasa dan tidak gampang itu. Aku selalu berusaha untuk mencukupkan diriku seadanya saja, lalu sengaja memberikan semua yang engkau butuhkan. Aku membayangkan ini sama seperti membiarkan engkau berenang dalam emas dan bersayapkan uang kertas. Maka pada titik inilah sesungguhnya aku sudah mati berulang kali sebelum kematianku yang sesungguhnya datang.

Kejadian malam itu menjadi awal dari perpisahan kita. Setiap perjumpaan rasa-rasanya tak asyik seperti dulu lagi. Yang ada kini hanyalah kecurigaan yang menjengkelkan dengan kata-kata sumpah atas nama Tuhan. Setiap kali engkau harus menilai tentang sikapku yang menurutmu sudah berubah. Bagimu aku hanyalah seorang laki-laki sialan yang selalu saja menghalangi kebebasanmu untuk jatuh cinta dengan siapa saja. Memang ini sedikit murahan bagiku. Namun atas nama cinta, aku merelakan engkau untuk bebas jatuh cinta dengan siapa saja mungkin termasuk dengan teman dekatku sendiri. Saat itu aku sudah merasa bahwa hubungan ini memang tidak punya masa depan. Maka lebih baik aku pergi meskipun dengan sakit hati daripada bertahan dengan orang yang salah.

Bertahun-tahun kemudian, aku menerima sepucuk surat yang tak kutahu nama pengirimnya. Di bagian depan surat tertulis “Teruntuk kamu yang sempat singgah walau sebentar. Apakah kamu bahagia?” kata-kata ini sungguh membuatku tak berniat untuk membacakan isi suratnya. Karena bagiku kata-kata yang tertulis di awal surat menjadi inti dari keseluruhan isi surat itu. Belum sempat aku membacanya, sebuah pesan masuk di chatingan WhatsApp ku. Bunyinya demikian “Leo terkasih…aku Maria. Wanita penabur luka di hati mungkin juga ragamu. Tak banyak yang ingin kukatakan. Leo maafkanlah diriku yang banyak memberi duka bagi hatimu yang mahabaik itu. Semenjak perpisahan kita yang luka itu, aku menjadi tak terkendali sayang. Sakitnya amat perih. Lelaki silih berganti datang untuk menyakitiku secara kejam. Aku hampir mati. Leo bisakah engkau datang lagi? Aku menanti jawabmu Leo. Dari wanita yang pernah engkau anggap bidadari. Kutitipkan rindu ini untukmu Leo.” Membaca pesan ini aku seperti memeluk kesedihanku sendiri. Kata-katanya menggores kembali luka ini hingga tak berhenti berdarah. Ia mengalir deras tak tertahankan. Mengingatnya seperti membuat satu kesalahan yang besar. Tak ingin aku membalas chatingannya lewat kata, tapi sepotong kalimat kuucapkan padanya “Maria tersayang ada dua hal yang paling aku benci di dunia ini; sampah dan kamu. Dan kamu tahu kalau mengenalmu adalah kesalahan terbesar dalam hidupku”. Kataku ini mewakili seluruh isi hatiku. Menerimamu kembali dalam hidupku bisa jadi awal dari segala sialku. Maka dengan segenap isi hati dan isi kepalaku aku berani menolakmu kembali. “Maafkan jika ini terlalu kasar Maria. Tapi kali ini aku membiarkanmu untuk jatuh berulang kali dan tak memberi tangan untuk menolongmu. Bukan aku yang kejam. Tapi engkau sendiri yang terlalu tega.”

Perjumpaan kita yang kita mulai dengan sangat indah kini harus berakhir dengan sangat sadis. Engkau Maria rawatlah cintamu agar bertumbuh dan semerbak mewangi. Engkau doakan aku agar teguh dan kuat pada jalan yang kupilih setelah perpisahan kita. Tentang aku dan kamu Maria, dapat kukatakan; Aku adalah orang yang memegang gitar tanpa senar. Aku yang memegang tanganmu, tapi tidak memiliki hatimu. Di pertigaan ini, apa yang harus kutanyakan pada lampu merah, yang mengajari kita perihal menunggu. Setelah sekian jalan, aku harus berhenti sesaat. Mengulangi lagi kecurigaan, seperti mengulangi kehilangan. Manakala mengenal seseorang lebih dalam, kita bersiap tenggelam dalam-dalam. Aku yang kini, bukan aku yang kiri. Aku yang kelak, bukan aku yang kanan. Arahku adalah Allahku- sesuatu yang kutemukan setelah kalahku.

 

Andy Denatalis,

ELEGI KEPERGIAN IBU

ELEGI KEPERGIAN IBU

Namaku Indra, pemuda dua puluh lima tahun berasal dari kampung dan sekarang sedang melanjutkan kuliah di salah satu kampus terkenal di ibu kota. Selepas pulang kuliah siang itu, aku duduk termenung di teras kamar sambil memikirkan cara untuk merampung skripsiku yang belum selesai. Aku melihat sekelompok anak kecil dengan tubuh mungil baru saja pulang sekolah sambil berlarian di pinggir jalan. Beberapa saat kemudian, aku melihat tiga orang perempuan renta dengan kerut di wajahnya berjalan sambil membawa setumpuk jerami kering dan beberapa potong kayu kecil di atas pundak mereka. Meskipun ini di ibu kota, namun pemandangan semacam ini sudah lumrah karena aku tinggal bersama orang-orang kecil di pinggiran kota yang kumuh.

“Indra, kamu sedang melihat apa?”, Tanya Ivan, seorang teman yang tinggal satu kos denganku.

“Ah Ivan, kamu mengangetkan ku”, jawabku sambil melempar senyuman kecil padanya.

“Bro, jangan terlalu memikirkan hal-hal yang tidak penting, kamu harus fokus untuk menyelesaikan skripsimu saja”, lanjut Ivan sambil memunggungiku.

Kami menghabiskan siang itu dengan kerut di dahi dan beberapa potong kue di piring. Maklumlah, Ivan ini seorang yang berada. Ia berasal dari keluarga kaya di desa kami. Hidupnya sangat berkecukupan; punya pacar cantik, motor bagus plus Iphone yang mahal. Ivan tidak seperti aku yang hidup serba kekurangan ini dan itu. Makanya skripsiku belum juga rampung karena aku kekurangan uang untuk membeli kertas dan membayar print. Sebelum sempat aku merebahkan badan ke kasur, aku mendengar suara seorang perempuan muda berumur belasan tahun. Pikirku itu pasti pacarnya Ivan, dan ternyata memang benar, perempuan itu datang bersama seorang temannya. Sebagai tuan rumah, tentu aku menyambut mereka dengan senyuman yang paling manis. Akhirnya cerita kami di siang itu penuh dengan canda tawa.

“Indra, seingat saya kamu selama ini belum pernah menelpon orangtua di kampung. Apakah kamu tidak rindu?” Tanya Ivan dengan ekspresi santai sambil mengisap sebatang rokok surya yang ada di atas meja.

“Aduh benar sekali Van. Bukannya tidak mau menelpon, tapi aku tidak punya pulsa bro. Jangankan beli pulsa, untuk beli beras saja aku hampir-hampir tidak bisa.” Balasku penuh pasrah dengan raut wajah yang tak biasa.

“Ting..ting..ting..” bunyi ponselku dari dalam saku celana.

“Indra…anakku sayang. Apa kabar? Aku harap kamu tidak kaget setelah aku memberitahukan hal penting ini padamu.” Suara lembut seorang lelaki tua yang mengagetkanku siang itu. Ya, itu ayahku. Seorang pensiunan guru yang hidup dengan bermodalkan hasil kebun yang secukupnya.

“Hallo..ayah., ada apa? Jangan buat aku penasaran. Aku harap kali ini ayah bawa berita baik”. Jawabku dengan nada yang sedikit tinggi. Maklumlah, selama ini lelaki tua itu selalu memberiku kabar buruk tentang kondisi keluarga kami yang serba kekurangan uang dan makanan.

“Ibumu sakit keras nak. Ia tidak bisa berjalan lagi. Sekarang ibumu hanya terbaring lemah di atas tempat tidur. Kalau tidak keberatan, kamu boleh pulang ke rumah untuk menjenguknya. Karena ibumu selalu menanyakan dirimu”. Katanya dengan halus sambil menangis.

“Ha…. ibu sakit? Oh Tuhan cobaan apalagi yang Kau berikan ini. Belum puaskah Engkau membuat aku seperti ini?” celoteh ku seakan menyalahkan Tuhan atas semua yang terjadi.

Sesudahnya, aku menutup telpon dengan suasana hati dan kepala yang kacau. Setelah menceritakan semuanya kepada Ivan, ia lalu bersedia membantu aku membelikan tiket kapal agar aku bisa pulang kampung untuk menjenguk ibu yang sedang sakit keras. Pada pertengahan Februari 2023, aku tiba di rumah setelah menempuh perjalanan yang melelahkan. Setibanya di teras rumah, aku mencium aroma kesedihan lantaran ibuku sakit. Sebelum sempat aku menyapa ibu yang terbaring lemah di kasur, air mataku mengalir deras tak tertahankan. Ragaku lemah hingga membuatku tersungkur di samping ibu. Tak ada sepatah kata pun terucap dari mulutku. Kami berdua berbiacara dari hati ke hati sebagai ibu dan anak yang telah dilahirkan dan dibesarkanya. Ikatan batin kami sangat kuat melebihi apapun. Hari terus berganti, ibu tak kunjung membaik. Kondisinya makin menurun, bahkan lebih parah dari sebelum aku tiba. Tak pernah aku mendengarnya berbicara lagi sejak saat itu. Senyuman indah tak terlihat lagi. Segala tanya dijawab dengan anggukan kepala dan kedipan mata. Sungguh perih tak tertahankan. Seperti kakak dan adikku yang setia merawat dan membantu ibu, aku pun tak ingin melewatkan momen itu meski sekedar menatap wajahnya dan mengelus kepalanya sebelum tidur. Inilah saat bagi aku dan saudara saudariku membalasa semua jasa ibu yang setia merawat dan membesarkan kami dari kecil hingga sekarang. Setiap momen bersama ibu aku rayakan dengan sungguh sebagai sesuatu yang bermakna dalam hidupku.

“Yuliana… adakah luka di hatimu hingga engkau tega membiarkan aku, anak-anak, menantu dan cucumu larut dalam kesedihan lantaran kondisimu tidak kunjung membaik?” Kata ayahku dari samping tempat tidur ibu dengan suara lembut sambil menyeka air matanya.

Sungguh mati, sebagai anak yang sudah lama tinggal jauh dari orang tua aku tidak sanggup mendengar kata-kata ini. Setiap kata yang diucapkan ayah memberiku kesedihan yang amat mendalam. Segala perasaanku hanya bisa diungkapkan lewat air mata. Setelah ayah mengucapkan kata itu, sejak saat itu juga ibu mulai kehilangan kesadarannya. Matanya hampir-hampir tidak dapat dibuka lagi. Ibu yang mengajariku berbicara kini telah bisu seutuhnya. Ia membiarkan kami anak-anaknya berbicara dengannya dari hati ke hati. Kasih sayangnya masih membara dalam hatinya meski ia tidak bisa berbuat apa-apa. Dalam keadaan yang amat menyedihkan ini, aku sepenuhnya berpasrah kepada Tuhan, sebab Dialah yang mampu berbuat banyak untuk ibuku. Menjelang hari kepulanganku ke ibu kota, aku seakan mencium aroma kepergian ibu untuk selamanya. Dalam hatiku selalu mencari cara agar nantinya aku kuat dan tegar bila ibu benar-benar pergi.

Tepat pada tanggal 28 Februari 2023, ibuku berpulang ke pangkuan Bapa di Surga. Ibu pergi setelah semalam-malaman bergelut dengan sakrat maut yang mengerikan. Ibu begitu kuat hingga ia masih mendapatkan kesempatan bernafas untuk beberapa jam kemudian setelah pertarungan itu. Lalu pada pukul 05.30 WITA sesudah berbicara dari hati ke hati dengan ayah, ibu pergi untuk selamanya. Isak tangis memecah keheningan yang masih menyelimuti seluruh kampung pagi itu. Aku sangat terpukul dengan kenyataan ini. Kepergian ibu seakan mematikan seluruh daya dalam ragaku. Aku tergeletak tak berdaya di samping jenazah ibu. Setelah dua hari dibaringkan, akhirnya jenazah ibu dimakamkan dekat pemakaman kakek dan nenekku.

Kepulanganku ke ibu kota untuk melanjutkan kuliah tak bisa ditunda. Dengan air mata dan segenap tenaga yang masih tersisa, aku kembali ke ibu kota. Hari-hariku di ibu kota dipenuhi kerinduan yang tak berujung kepada ibu yang telah berpulang. Ingin rasanya pulang ke rumah lagi menghabiskan seluruh hidup bersama ayah dan kakak serta adikku.

Di akhir dari kisah ini, aku ingin menuliskan sebuah pesan kerinduan kepada ibu; ibuku sayang. Sampai di mana perjalananmu kini? Andaikan ibu mengerti tentang beratnya perjuangan seorang anak tanpa kehadiran seorang ibu yang selalu memberi kekuatan. Andaikan ibu paham tentang betapa hampanya hidup seorang anak laki-laki yang lama hidup di tanah orang, ketika ia pulang ke rumah tak didapatinya lagi sosok seorang ibu. Sungguh berat menanggung kerinduan ini Ibu. Hingga sekarang aku masih merasa beban karena tak bisa memberikan kebahagiaan untukmu meski hanya sedikit lantaran dirimu kini telah pergi selamanya.

#Cerita ini ku tulis dengan sepenuh hati karena kerinduan akan ibu yang telah tiada. Aku seperti seekor burung yang kehilangan sayapnya ketika ingin terbang. Aku kehilangan. Separuh jiwaku pergi#

 

Andy Denatalis

Gadis Berkerudung Senja

GADIS BERKERUDUNG SENJA

Masih ku ingat gemerlap senja menyambut senyummu yang selalu sumringah di sudut kota. Aku begitu kagum pada Tuhan yang menciptakanmu seindah itu. Kali ini aku tidak bersusah payah mencari wajah Tuhan, karena dirimu serupa wajah-Nya yang tersembunyi itu. Di baris terakhir dari semua doa dan madah puji yang ku gaungkan tanpa letih, namamu selalu kan ku sebut. Sesekali dengan suara merdu aku meminta pada Tuhan agar kamu menjadi milikku selamanya. Namun rupanya Tuhan tidak butuh permohonan yang merdu seperti itu. Tuhan ternyata lebih sederhana dari segala kerumitan yang ada dalam kepalaku. Tentangmu aku hanya bisa menyimpulkan sementara bahwa keinginan untuk memilikimu itu selalu menjadi hal utama dari sekian banyak rencanaku. Cinta ini lebih purba dari nafas.

Pada suatu musim hujan yang lalu, kamu menyapaku lewat sebuah pesan singkat. Sebelum sempat ku baca, bayangan tentang raut wajahmu seakan menghalau semua pikiranku tentang keburukan. Indah parasmu juga lentik matamu terbingkai rapi di bawah balutan kerudung hitam yang engkau kenakan di kepalamu. Engkaulah si gadis muslimat berkerudung hitam di sudut kota yang selalu ku beri nama senja. Pada baris pertama dari pesanmu tertulis kata manis yang paling sadis, “Untukmu sang pengembara hati yang tak pernah letih berjalan mencari cinta. Adakah kau temukan aku di relung gua hatimu yang dalam itu? Aku mencintaimu dengan segala tentangmu. Namun di lain hari, tak kutemukan engkau berada bersamaku di persimpangan jalan menuju tempat ibadah. Adakah setitik iman di hatimu? Atau kah engkau berasal dari keyakinan yang berbeda denganku?” Membaca pesan ini sempat membuatku terperangah di sudut kamarku. Aku tidak berdaya menjawab pertanyaanmu yang rumit itu. Di tengah kebimbangan yang amat dalam itu, aku mendengar suara azan dari sudut kota berpadu indah dengan dentangan lonceng Gereja memanggil umat beribadah. Syair indah dan segala madah puji dilantunkan dengan merdu untuk memuji Sang Khalik yang Mahatinggi. Aku amat yakin kalau kali ini pasti Tuhan mau mendengar permintaanku. Maka dengan segala niat yang tak pasti, aku memberanikan diri meminta kepada Tuhan agar Ia membiarkan kamu menjadi milikku. Namun dalam hatimu, engkau pasti meminta agar Tuhan yang sama menjauhkan aku darimu. Sungguh ku rasa doa kita seakan bertarung di langit mencari arti yang pasti. Andaikata saat itu aku tidak jatuh cinta kepadamu, maka aku tidak seperti ini. Memikirkanmu sama halnya dengan menciptakan mendung di mataku sendiri. Tetapi perihal mencintaimu itu selalu mengasyikkan, menentramkan jiwa.

Pernah sekali waktu aku berjalan menyusuri sudut kota sekedar ingin melihatmu di beranda senja sore itu. Sungguh di luar dugaan, aku melihat engkau sedang asyik melambaikan tanganmu kepada seorang anak kecil yang baru saja pulang mengarungi lautan badai bersama ayahnya dengan sepotong perahu kecil yang mereka miliki. Melihatmu seperti itu sama halnya aku sedang bahagia karena rinai hujan yang turun membasahi tanah yang telah lama gersang. Sebelum sempat kamu menoleh, aku menghampirimu sambil mengucapkan sepotong salam hangat, “Hai Aisha, gadisku yang berkerudung senja, masih ingatkah siapa aku? Setelah sekian lama, baru kali ini kita berjumpa lagi di tempat ini yang dulu kita sebut sudut kota”. Ia membalas salam itu dengan sepotong senyum indah yang terukir indah di bibir mungilnya. Sambil merapikan kerudungnya, ia lalu menjawab, “Adrian, si lelaki pengembara. Adakah aku sebagai luka di hatimu sehingga kamu tersesat dari jalan ini? Kini aku paham bahwa kita ternyata berbeda keyakinan. Tetapi satu hal yang perlu kamu ingat, aku yang dulu ketika pertama kita kenal sama dengan aku yang sekarang, kita hanya berbeda cara bukan berbeda rasa. Aku mencintaimu dan kamu mencintaiku. Kita jalani sebagai dua orang sahabat hanya agar rasa kita tak rusak dimakan waktu”. Kata-katanya ini menusuk hingga lubuk hati yang dalam. Hal yang aku pikirkan selama berhari-hari lalu ternyata salah. Aisha tetap mencintaiku, meskipun kami berbeda keyakinan. Sejak saat itu aku mulai tekun merawat kata dan tingkahku agar berkenan di hadapannya. Aku mencintainya lebih dari kata-kata yang aku ucapkan. Sekian tahun kami bersama, aku menyadari bahwa Aisha masih tetap dengan rasa cinta di hatinya dan aku pun begitu. Kami menjalaninya sebagai sepasang kekasih yang saling mencintai dengan banyak cara bukan dengan banyak kata.

Pada awal Maret menjelang bulan Ramadhan, ia mengatakan kepadaku perihal perjodohan antara dirinya dengan seorang lelaki yang diinginkan oleh orang tuanya. Lelaki itu adalah putera seorang pengusaha kaya di kota. Perjodohan ini dibuat atas nama kebahagiaan. Orang tuanya menginginkan agar Aisha memiliki seorang pasangan hidup yang mapan dan tentu seiman dengan dirinya. Kata-kata yang diucapkannya ini sungguh menyakitkan bagiku. Namun aku tidak sekalipun menyalahkannya atas situasi ini. Aku lebih sadar diri bahwa aku tidak termasuk dalam dua kategori yang diinginkan oleh orang tuanya; bukan pasangan yang seiman apalagi mapan. Bukannya pasrah, tapi memang demikian adanya; ibu saja aku tidak punya apalagi hidup berkelimpahan. Dan kalau hidup mapan pun aku tetap saja tidak bisa memilikimu sebab kita bukan pasangan yang seiman. Maka di persimpangan ini dapatkah aku mengelak teriak tentang hubungan kita yang tak bisa bersama selamanya? Sungguh hidup ini teramat mengerikan bagiku yang selalu tak bisa apa-apa.

Di akhir dari pertemuan kita sore itu, engkau menitipkan sebaris pesan yang tak terkira dalamnya. “Adrian, perihal mencintai sampai habis, rasa-rasanya tak akan pernah bisa terwujud antara kita berdua. Aku selalu menyadari bahwa cinta saja tidak cukup untuk menghidupi raga yang lemah ini. Aku pun membutuhkan iman yang cukup agar bisa selamat dunia dan akhirat. Selain itu, aku juga butuh yang mapan agar memberiku rasa aman bukan rasa lapar. Hidup serba kekurangan denganmu hanya akan membuatku menderita lahir batin. Sekali lagi, aku ini makhluk Tuhan yang banyak maunya. Jika aku denganmu itu sama halnya aku membawa diriku sendiri ke tepi jurang yang dalam.” Sungguh memilukan memikul hidup yang teramat susah ini. Sambil memalingkan mata ke sudut kota, aku melihat senja yang hampir usai; di sana aku mendengar deburan ombak menghantam pasir pantai. Ini seperti membuatku tak sanggup untuk hidup hingga esok harinya. Sungguh, apa yang lebih sepi daripada menanti seseorang yang tak pernah mengucapkan kata untuk kembali? Lalu di ujung dari semua kesakitan itu, aku mencoba merayu Tuhan agar berkenan menguatkanku yang sedang lemah itu. Aku bercerita kepada Tuhan tentang seorang gadis berkerudung senja yang sempat Ia titipkan kepadaku untuk ku jaga, namun kini ia telah pergi dariku membawa sejuta rasa cinta dan harapan tentang impian masa depan untuk hidup bersama yang ternyata takan pernah terwujud. Sesekali aku menyalahkan Tuhan atas kisahku yang pelik itu, “Tuhan Sang Mahacinta lagi sempurna, adakah doa-doaku lebih sedikit daripada dosa-dosaku hingga Kau timpakan kepadaku luka yang amat dalam ini? Masihkah mungkin aku mengatakan Engkau adil? Tak adakah setitik cinta untuk Engkau sematkan pada hati yang luka ini? Kalau boleh izinkan aku untuk bertemu dengannya sekali lagi, agar aku bisa meyakinkan dirinya kalau cinta itu tak selamanya harus sempurna; cinta butuh perjuangan dan kesetiaan bukan harus seiman dan mapan.”

Ketika pagi membangunkanku dan aku menyadari bahwa sudah sekian tahun kita tak saling memberi kabar, dan selama itu juga aku merasa Tuhan itu baik. Sebab, dengan segala kesibukan yang ku geluti belakangan ini, aku begitu bahagia karena merasakan kebaikan Tuhan yang selalu tak terkira. Aku sungguh mencintai diriku dan pekerjaanku sekarang. Selepas pergimu yang luka itu, kesendirian adalah diriku satu-satunya. Seperti dermaga yang memandang jauh hamparan samudra ada banyak kapal melintas ke segala penjuru, tapi tak ada satu pun yang singgah selain ombak berbuih mencari muka di kakinya. Seperti embun yang setelah diteteskan langit, dibiarkan merana di atas dedaunan yang bisu. Dan di dalam namamu yang kulafalkan sebagai amin bagi doa-doaku yang khusuk, aku hanyalah petualang yang kehilangan arah untuk berjalan. Maka sekali lagi kesendirianku adalah diriku yang utuh. Kenyataan membangunkanku dari kisah yang tak indah ini lalu aku berharap agar engkau tidak datang lagi dengan alasan apapun. Aisha dan segala tentangnya telah usai dalam hati dan kepalaku. Maka di sini, di sudut ruangan yang bernama nurani ada genderang batin yang tak kuasa berbohong mengatakan asal engkau bahagia, maka aku juga bahagia.

Meski engkau telah usai, namun di akhir dari kisah ini aku ingin menulis sebaris antologi kerinduan yang takan pernah tersampaikan, “Jika ada kata rindu yang paling menyakitkan, maka percayalah itu pasti merindukan masa silam. Rindu yang tak akan pernah bisa dilampiaskan karena satu kenyataan bahwa waktu tidak bisa diputar untuk sekedar mengulang segala kenangan.” Pada kisah kita tercipta kenangan dan angan yang tak pernah menjadi kenyataan. Aisha gadisku yang berkerudung senja, engkau kekal dalam rintik kata namun hanya tiupan angan dalam kenyataan. Kini, barangkali kita memiliki banyak maaf tapi tidak lagi memiliki kesempatan. Pada akhirnya aku ingin menitipkan pesan ini kepadamu, “cinta yang hanya menawarkan kebahagiaan adalah sebuah kebohongan terencana. Terkadang hati perlu patah, agar bijak menentukan arah”.

 

Andy Denatalis

Memeluk Mawar

         MEMELUK MAWAR

Ibarat senja di musim hujan, kepergianku selalu tak bisa kau tebak dan aku merasakannya kini ia kian mendekat. Perihal mencintaimu sedalam lautan selalu merupakan suatu ketakmungkinan bagiku yang selalu tak bisa menetap selama yang kau inginkan. Aku paham bahwa hubungan kita sebenarnya bisa makin erat selamanya, namun di lain waktu aku dan kamu ternyata berbeda jalan. Ibarat di persimpangan jalan, aku berjalan ke lain arah dan kamu mungkin tinggal tetap. Tapi satu hal yang tak mungkin dapat disangkal adalah bahwa memang kita harus berpisah. Kamu harus tahu kalau itu adalah salah hal yang tidak aku inginkan untuk terjadi dalam hidup yang malang ini. Tetapi tetap teguh untuk bertahan selalu merupakan hal yang tak mungkin bisa aku lakukan. Aku mengerti kalau dalam hati dan kepalamu selalu ada rasa cinta yang tak dapat diukur dalamnya. Dan aku pun begitu. Pada titik ini, aku menyadari bahwa kita berdua seperti setitik debu di tengah padang pasir yang maha luas; ditiup badai kapan saja ia mau. Bukan karena ia mau, tapi takdirnya memang seperti itu. Maka dengan setulus hati aku katakan bahwa kita hanyalah salah satu dari sekian banyak pasangan di dunia ini yang berpisah karena takdir.

Awal bulan November lalu, pada hari dan tanggal yang tak sempat aku ingat dengan baik, aku dan kamu bertemu dalam angan yang sama untuk menjadi sepasang kekasih. Kala itu, kita asyik bertukar cerita bersama di bawah naungan pohon depan rumah. Dari ceritamu, aku paham bahwa kita sama pejalan jauh; dari masa lalu yang kurang enak dan sekarang sedang berikhtiar untuk memiliki masa depan yang baik. Namun dalam hal ini, kamu tetap beruntung karena punya masa depan yang cerah. Sedang aku masih hanya sebatas angan-angan dalam tanda tanya, sebab aku masih berada di sepertiga jalan menuju masa depan itu. Pada baris terakhir dari semua ceritamu, ada satu pesan yang masih melekat erat dalam kepalaku “Gery yang baik, hidup itu misteri. Kita tak akan pernah tahu seperti apa kita di hari esok. Berjuanglah dari sekarang dengan segala kelebihan yang kamu miliki. Jika kamu berusaha, maka masa depan itu milikmu”. Sungguh pun kata-kata ini aku rasa seperti gemerlap senja yang menghantar aku pada malam yang khusyuk. Sejak saat itu, aku mulai berani untuk menaruh rasa padamu sedalam mungkin.

Pada akhir Desember sebelum hari pergantian tahun, aku memberanikan diri untuk mengajakmu pergi ke Café terkenal di kota. Di sudut ruangan yang kita sebut relung hati, mata kita beradu pandang hingga ku rasa tatapanmu jatuh tepat di sudut mataku. Sungguh pertemuan malam itu menjadi awal dari pertemuan-pertemuan kita selanjutnya. Waktu berjalan begitu cepat. Hubungan kita pun kian erat. Aku dan kamu selalu saja tekun menenun cinta dari kisah-kisah perjumpaan dan perjalanan yang sama-sama tak ingin berakhir. Kisah kita makin kuat dan aku sangat yakin kalau itu semua karena kesetiaan yang kita miliki. Di awal bertemu tak ingin berpisah hingga kini dengan kisah kita yang panjang ini tentu tak ingin berpisah, aku ataupun kamu sama-sama tak ingin pergi. Semua keadaan ini seakan berpacu dengan waktu; waktu kepergianku dan waktu di mana kamu tak melihatku lagi.

Angel waktu dua tahun itu bukan waktu yang singkat. Dua tahun kita bersama; selama itu juga kita sama-sama menenun cinta dari sisa luka masa lalu kita; selama itu juga kita menanam benih cinta dan menyiramnya dengan setia. Bukankah kesetiaan ini sangat cukup untuk menguatkan langkah kaki kita menuju masa depan yang kita impikan? Sejak terakhir aku mengucapkan kalimat ini, aku tak pernah melihatmu senyum lagi seperti dulu. Aku mencatat sementara, hanya langit yang mahatahu semua ini. Ekspresimu seakan menjadi misteri bagi seluruh pergumulanku dalam hati. Tapi satu hal yang harus kau tahu bahwa semakin kamu begitu, seluruh diamku seakan bergemuruh mencari cara untuk membawamu kembali. Ibarat sebuah cahaya akan menjadi terang saat ada kegelapan yang menyelimutinya; maka aku pun berniat untuk menciptakan kembali senyumanmu yang indah itu. Namun terkadang aku berpikir bahwa berniat saja tidak cukup untuk membawamu kembali. Ibarat membidik notasi lagu-lagu W. A. Mozart, aku berpikir bahwa feeling saja tidak cukup, tetapi harus punya kemampuan lebih untuk membuat harmonisasi sekian banyak notasi yang rumit. Maka dengan segenap hati ku katakan Angel, bahwa aku akan membawamu kembali kepada dirimu yang dulu ketika pertama kali kita kenal.

Sekian bulan senyummu hilang, rasa-rasanya hari-hari itu diselimuti mendung yang tak berkesudahan. Mendung tapi tak hujan itu sama seperti memeluk kesedihan di mataku sendiri. Penyesalan telah membuatmu seperti itu selalu datang di kala kesendirianku datang mendekat. Dirimu dan segala sesuatu tentangmu selalu renyah dan gurih untuk dikecap. Sesekali aku menggumam dalam hati “bagaimana mungkin aku bisa berpaling darimu Angel, sedang namamu terlampau nyaman di setiap doa yang ku gaungkan tanpa letih”. Namun rupanya anganku ini terlalu sederhana untuk menjangkau langitmu yang mahatinggi; anganku terlalu rapuh untuk memeluk cintamu yang teramat sempurna. Maka di relung duka yang dalam ini aku sampaikan padamu perihal mencintaimu seperti memeluk mawar berduri; durinya menikam sangat dalam merobek seluruh sendiku. Di akhir dari kisah ini aku ingin mengatakan padamu Angel; jika kau pikir aku takut kehilanganmu, kau tak sepenuhnya benar. Kehilanganmu mungkin akan sangat menyakitkan dan itu menakutkan. Tapi aku lebih baik memilih untuk tumbuh dari penderitaan dan perjuangan melepaskan, daripada sekarat dan terseok-seok berusaha mendapatkan cinta dan sayangmu yang memang tidak tersediaJika kau berkenan, maka izinkan aku untuk berhadapan dengan rasa sakit ini. Meski engkau pergi dan menghilang, namun tetap saja engkau seperti mawar yang tumbuh di relung gua hatiku yang gersang. Teruntukmu wanita yang pernah singgah sebentar namun membekas hingga purna waktu.

 

Andy Denatalis, SVD

Seorang pegiat asmara yang takut kehilangan wanitanya. Ia tekun merawat cinta yang selalu mekar dalam hatinya. #Aku bukan fakir asmara#

Anak Seorang Perempuan

Anak Seorang Perempuan

Anak Seorang Perempuan

Oleh: Fr. Oktovianus Olong, SVD

Hilde. Gadis yang sudah dua kali mengalami menstruasi itu memiliki satu kebiasaan aneh. Ia senang memetik bunga mawar yang ada di depan pastoral. Ia selalu membawa kembang itu ke kamarnya. Melihat bunga itu lama-lama. Sesekali menciumnya. Dan bila hendak tidur, ia akan meletakan bunga itu di atas dadanya. Bahkan dalam setiap kepulan asap doanya, ia selalu menyelipkan harapan agar Tuhan berkenan menghadirkan bunga mawar itu dalam mimpinya.

Ibunya yang terus mengamati kebiasaan anaknya yang aneh itu sangat terganggu. Kadang ia bahkan marah-marah pada sifat anaknya yang agak diluar nalar itu.

“Jangan petik dan bawa bunga itu lagi ke sini.”

“Kan indah mekarnya”, Hilde membela diri.

Hilde kadang bingung dengan sikap bundanya. Ia selalu membersihkan sendiri sisa bunga itu jika telah jadi sampah. Hanna, ibunya, memang memiliki alasan. Alasan itu lebih dari sekedar mengotori rumah. Juga bahwa memetik bunga mawar dari tangkainya sama dengan mempercepat proses layunya.

                                                                   ♥ ♥ ♥

Hari minggu identik dengan hari untuk bersantai. Banyak orang memilih untuk menghabiskannya di pantai sambil menikmati jus buah atau sejenis rekreasi lainnya. Pastor Degar memilih untuk tetap berada di patoran. Ia ingin merayakan libur dengan cara yang sangat sederhana. Tidur. Tugas pastoral cukup menguras banyak tenaganya. Apalagi paroki yang digembalainya memiliki latar geografis yang cukup memprihatinkan dengan kondisi jalan yang umumnya berstatus jalan provinsi.

Baru memeluk bantal sekitar tiga belas menit, pintu pastoral terketuk. Ia yang kecapean memang sengaja untuk tidak mau membukakan pintu. Tapi pintu terus diketuk. Namanya terus melambung di udara. Ada alasan yang membuat matanya tak mau lagi tertutup. Telinganya menangkap suara bagai kicauan burung. Suara itu mendamaikan hatinya.

Pintu dibuka. Dihadapannya berdiri seorang wanita muda. Beberapa detik baru jatuh. Wanita itu erat memeluknya. Sang Pastor sedikit aneh dengan tingkah wanita itu.

“Ada apa ini???” wajah sang pastor keheranan.

“Bahumu adalah laut. Padanya sejuta sungai air mata ini tertampung.” Wanita itu menjawab spontan.

“Tapi laut bisa saja mendatangkan badai.”

“Aku tak cemas soal itu. Aku selalu yakin. Ketika terjun dalam laut itu, ada ikan kecil yang tersenyum indah.”

“Sungguh sial nasibmu burung yang malang. Sayap-sayap cintamu pasti telah patah.” Sang pastor mencoba menemukan alasan

Wanita itu menagis sejadi-jadinya. Tarikan napasnya sangat terdengar jelas. Wanita itu belum juga melepaskan Sang Pastor. Walau nada suaranya jelas memperlihatkan kecemasan pada sang gadis, Pastor Degar cukup menikmati adegan itu. Dipeluk oleh seorang wanita muda adalah pengalaman baru baginya. Imajinasi liar mulai memenuhi batok sang pastor. Amukan nafsu menenggelamkannya.

“Tepat katamu pastor. Sayap cintaku patah. Aku ditelan sepi. Jiwaku kerontang oleh panasnya mulut lelaki yang dulu datang kepadaku dengan senyum paling segar ditangannya.”

“Perkara cinta memang sulit. Ia bagai amukan topan. Hanya orang yang sungguh siap yang berhasil melaluinya”, tegas Pastor Degar. “Tapi saya yakin, engkau belum terlalu telat untuk datang padaku. Mungkin engkau sering mendengar, perdamaian sering dirayakan di atas altar suci. Dalam kasusmu, perdamaian pun bisa aku rayakan. Di atas tubuhmulah ritus itu akan kulaksanakan.”

“Apa?” Hanna sedikit kaget.

Hanna tentu tidak bisa buat apa-apa. Pastor itu begitu kuat menggenggamnya. Kini ia serupa layang-layang. Membiarkan angin membawanya di angkasa. Masalah tak terselasaikan. Muncul problem baru. Tak hanya sayap cintanya yang patah kini. Selangkangannya juga diacak-acak.

                                                                                    ♥  ♥  ♥

Bila malam tiba hati Hanna hacur lebur. Ia tak kuat menatap wajah Hilde yang berbaring manis dengan bunga mawar di atas dada. Hati kecilnya selalu berkata “Hilde yang manis. Engkau tak tahu, juga takan kuberi tahu. Mawar itu sengaja kutanam di depan pastoral dulu. Mawar adalah simbol pemilik taman. Orang selalu menatapnya indah. Ada alasan yang tersembunyi di sudut jiwaku.”

Itulah alasan mengapa Hanna tidak mau melihat Hilde bangga dengan kebiasaannya. Hatinya hancur. Juga mengingatkan dia akan peristiwa kelam masa lalu. Tapi ini adalah rahasia. Hanna tak mau air itu meluap. Jika sampai air itu mendidih, ia bahkan membiarkan air itu meluap lalu menyakiti hatinya sendiri. Ketika ditanya Hilde,

“Bu, sebenarnya aku ini anak siapa???

“Anak seorang perempuan,” Begitulah ia menjawab.

*Cerpen ini pernah dipublikasikan di rakatntt.com. Kini dimuat kembali dengan beberapa perubahan.

Pergi Lalu Rindu

Pergi Lalu Rindu

 “Aku menulis ini saat aku jatuh cinta. Saat aku tidak bisa melupakan masa lalu. Yang aku tahu, masa akan selalu melahirkan dua hal. kenangan dan pelajaran,” ucapku dengan jemari yang mulai menari di atas keyboard hitam yang siap diberi sentuhan hangat.

***

Bali, 20 Juni 2012

Hari Pertama, Jatuh Cinta

Dari jarak yang lumayan jauh, lelaki itu terus menatap seorang gadis yang sibuk membaca sebuah novel. Kadang senyum terpahat dibibirnya melihat jemari gadis itu membuka tiap lembar halaman. Tidak hanya itu, ia bahkan tertawa kecil saat melihat gadis itu mengerutu kesal saat membaca.

Matanya seakan tidak ingin berpindah arah. Gadis dengan rambut gelombang yang digerai itu, membuat satu kata terkait dipikirannya. Tertarik.

“Hei, gue boleh tanya nggak?” ucapnya pada seorang mahasiswa yang sedang berjalan melintasi taman.

“Yah. Mau tanya apa?”

“Lo kenal cewe yang di sana?” tanyanya sambil menunjuk ke arah gadis itu.

“Ohh, Revalina?” iyah kenal. Kenapa?

“Nggak. Cuman tanya. Thanks.” Ucapnya lalu kembali menatap gadis bernama Revalina itu dengan senyuman hangat. Okey, jadi namanya Revalina.

***

Hari Kedua, Berani Mendekatinya

Revalina berjalan menyusuri rak buku yang menjulang tinggi. Ia terus merapal-rapal judul buku yang ingin dibacanya. Jemari membantunya menemukan apa yang ia mau. Sampai akhirnya langkahnya terhenti oleh sosok lelaki tampan yang berada dicelah rak buku.

“Hay, Nama kamu Revalina yah?” Revalina dikejutkan dengan suara itu.

“Shuuutt...di Perpus tidak boleh ribut!” Disambarnya sebuah buku fiksi lalu Revanila berbalik meninggalkan lelaki itu.

Tanpa sepengetahuannya ternyata lelaki itu mengikutinya dari belakang sampai di meja tempat ia membaca.

“Saya Angga. Salam kenal,” ucap lelaki lelaki itu dengan suara sedikit berbisik. Revalina hanya menatapnya dengan judes. Tidak ingin menatap terlalu berlebihan. Menganggap suara itu hanya angin lalu.

“Mau kenal sama dia nggak?” tanyanya sambil menunjuk ke arah lelaki berjabul tebal membuat kening Reva mengerut. Lalu menjawab, “Nggak.”

“Kalau sama yang itu?”

“Nggak juga ihh!”

“Kalau sama saya? Siapa tahu dari kenalan jadi suka.” Reva menoleh karena merasa ada yang aneh lalu memukul Angga dengan buku di tangannya.

“Udah dibilangin tidak boleh ribut,” kesal Reva lalu menghindar dari hadapan Angga secepatnya. Kedua pipi Reva sudah terlihat sangat merah. Perpaduan antara malu dan marah.

“Aneh-aneh!”

***

Hari Ketiga, Membantunya

Fajar tiba mendapati titik embun yang membasahi helaian daun. Membiarkan matahari menjalankan tugasnya.

Revalina memasuki bus universitas. Melirik sambil mencari tempat kosong yang ternyata sudah penuh diisi mahasiswa/i Universitas Gajah Mada. Ia kesal karena terpaksa berdiri.

“Mau duduk di tempatku tuan putri?” suara serak yang khas terdengar menyapa Reva. Ia menole dan mendapati lelaki dengan rupa yang sama. Angga.

“Nggak usah!” tolaknya. Angga hanya tersenyum dan berjalan ke arah belakang bus. Memilih berdiri di bagian belakang dan menyisahkan tempatnya untuk gadis yang disukainya.

Duduklah. Batin Angga sambil mengintip ke arah bangkunya yang belum ditempati.

Revalina menoleh ke belakang. Mencari Angga yang tiba-tiba sudah hilang. Matanya memandang ke bangku milik lelaki itu yang telah kosong. Reva menarik senyum simpul kemudian duduk di kursi itu. Terima kasih.

Angga melirik ke depan. Di matanya purnama bersinar.

***

Hari Keempat, Mengajaknya Berdua?

Tidak ada yang lebih indah dari cinta pada pandangan pertama. Bayangkan saja. Kamu menyukai orang yang sama sekali tidak kamu ketahui kepribadiannya. Namun, sudah menyukainya dengan sekilas melihatnya. Mulai dari cara dia tersenyum sampai gerak-geriknya yang lucu. Mungkin nasibmu sama dengan Angga.

Mau pulang bareng?Angga dengan senyum yang tak akan lupa ia tampilkan tiap kali harus berhadapan dengan gadis pujaannya. Revelina.

Pertanyaan itu hanya dibalas dengan sikap cuek. Pandangan Revalina terus memandang ke depan. Tidak peduli dengan yang sedang menyapa.

Di atap bumi, langit mulai mendung. Gadis itu kelihatan panik. Angga terus memandangnya. Memperhatikan setiap tingkah yang dilakukan sang gadis.

“Sebentar lagi hujan. Yakin tidak mau menerima tawaran saya?” tanya Angga memastikan.

“Udah sana. Kamu pergi saja.”

Angga kembali tersenyum. Sudah kesekian kali tawarannya selalu di tolak sang gadis. Angga mengambil payung biru muda dari tasnya. Membuka payung itu lalu meletakannya.

“Jangan lupa pakai ini.” Ia kemudian menghilang dari tempat itu.

Revalina menatap teduh payung itu. Lelaki yang baik.

***

Hari Kelima, Belum Menyerah

Revalina menuruni tangga dengan buru-buru. Tanpa sengaja menabrak seorang mahasiswi yang sedang asyik dengan minuman cokelat. Baju yang berwarna putih kini terdapat noda di bagian lengan.

“Iyahh nggak apa-apa. Saya yang salah kok.” Bajunya kotor kini, tapi Revalina menyadari bahwa itu kekeliruannya. Ia terus berjalan dengan wajah memelas. Hari ini memang buruk baginya. Ia kembali menabrak seorang cowok yang sedang berjalan dengan langkah tergesa-gesa. Mungkin karena terlambat?

“Sorry...ehhh kamu? Ketemu lagi kita.” Wajah lelaki itu kelihatan sangat bahagia.

Revalina hanya mengangkat bahunya berusaha tidak peduli. Ia muak dengan lelaki itu. Cowok itu agak aneh baginya.

Manik mata Angga terlihat menatap lengan kemeja Reva yang terkena noda. Sontak ia mengambil tangan berwarna hijau tua untuk menghilangkan noda basah itu.

“Sapu tangan?” tanyanya lalu melirik kemeja Revelina. Karena tak ada respons, Angga mengambil tangan Reva lalu menaruh sapu tangan itu di telapak tangannya. “Pakai buat lap.”

Revalina menjentikan jemarinya yang masih memegang sapu tangan Angga, melemparnya dengan pelan tepat di wajah lelaki itu. “Nggak butuh.”

“Saya tidak pernah menyerah!” teriak Angga melihat Reva segera menjauh. Cinta baginya kadang serupa pertanyaan yang membingungkan tapi mengasikkan.

***

Pergi

Seperti biasa, gadis ‘kutu buku’ itu duduk di salah satu bangku taman. Ditangannya sebuah novel dengan cover berwarna putih. Bibirnya komat-kamit. Dahinya terus mengerut. Aktivitas seperti ini yang Angga suka. Matanya terus memandang dari jauh. Beban skripsi yang menumpuk lenyap dari pikirannya.

“Cie yang dilihatin,” ucap seorang gadis saat menangkap Angga yang sedang memperhatikan Revalina.

Revalina mengerutkan keningnya saat mendengar teguran dari mahasiswi yang dikenalnya dengan nama Dinda. Lantas, ia langsung menoleh ke belakang mendapati Angga yang sedang tersenyum memandangnya.

“Huhh, dia lagi!”

“Kelihatan lagi kasmaran sama kamu dehh. hehehe” Dinda menambahkan lagi dengan cengiran lebar lalu pergi dengan membawa buku-buku ditangannya.

Revalina menoleh ke belakang. Kali ini Angga menyatukan jemarinya berbentuk hati. Reva mendelikan bahu lalu melangkah mendekati Angga.

“Mending kamu pergi.”

“Kenapa”

“Kehadiran kamu itu menggangu hidupku dan saya tidak suka,” tegasnya memuntahkan amarah.

***

Rindu Yang Disembunyikan

Akhir-akhir ini, Revalina merasa seperti ada yang kurang. Aktivitasnya seperti tidak lengkap. Hari-harinya terasa sangat sepi.

Ia berjalan memasuki perpustakaan. Kembali pada rutinitas yang selalu ia lakukan. Mencari buku kesukaan. Memainkan jemari pada sampul-sampul buku. Menatap cover buku dengan design terkini. Namun, kali ini merasa ada yang kurang. Biasanya ada yang mengganggunya dari celah-celah buku. Tapi ia tidak ada kini. Lamunannya kembali pada saat-saat kesal dulu. Kok aku memikirkannya. Aneh.

Revalina mengambil beberapa buku yang ia perlukan. Memberi kartu pinjaman lalu keluar dari perpustakaan. Ia berdiri di bawah halte, menunggu bus universitas. Lelaki yang sering menganggunya itu pun tidak ada. Ia hanya menggelengkan kepala. Mengapa ia terus hadir dalam lamunanku?

Bus universitas datang. Seperti biasa, tidak ada bangku yang kosong. Ia melemparkan pandangan ke arah bangku yang biasa digunakan lelaki itu. Bukan dia di sana. Kemana dia?

Ia menatap datar ke jendela bus. Meraba kaca yang dibasahi embun. Sesuatu keanehan muncul dalam dirinya. Seperti ada yang kurang. Ia selalu merasa sunyi. Ia rindu kehadiran lelaki itu.

Apakah ia sudah lelah menunggu? Atau muak dengan sikapnya yang selalu acuh?

Revalina terus menatap penuh harap. Dari kaca jendela, bangunan-bangunan bisu. Awan terbang dalam sunyi. Kendaraan kota ramai. Tak ada yang peduli padanya.

“Mencari saya?”

Seketika ia menjadi kaku. Suara itu...

“Angga.”

Bus berhenti.

“Kemana kamu selama ini?”

“Mau jalan sama saya?”

“Kemana?” Revalina tersenyum dengan malu-malu.

“Menikmati dunia....Berkenalan dan berkelana.”

“Okeyy.”

Selesai

 

Oleh: Petrasia Febiana Rata. Siswi SMK Katolik Syuradikara Ende. Kelas X UPW

 

Maaf

Maaf

Oleh: Petrasia Febiana Rata (Siswi SMK Swasta Katolik Syuradikara. Kelas X UPW)

Hari masih gelap. Kabut malam belum sepenuhnya beranjak. Diantara lipatan selimut, aku masih terbaring seolah tak rela kulitku dijamah hawa yang dingin. Aku sangat bosan. Malas untuk pergi ke sekolah.  Sekolahku dipenuhi dengan komplotan tukang bully. Aku selalu menjadi sasaran empuk ketajaman lidah mereka. Aku kadang berpikir, mengapa aku terlahir dari keluarga miskin seperti ini?

“Ananda, bangun sayang. Kamu harus ke sekolah.” Suara ibu menggema di telingaku. Aku menjadi geram. Apakah dia tidak tahu kalau aku sangat menyesal karena terlahir dengan ekonomi serba sulit seperti ini? Ckk! Tapi aku terpaksa bagun dari tempat tidurku dari rotan dan dialasi dengan kasur tipis. Kenyataan ini juga yang membuat tidur dan mimpiku tidak terlalu baik.

“Ayo sarapan! Nasi goreng kesukaan kamu telah ibu buatkan.” Aku menatap jijik ke arah nasi goreng itu. “Nasi goreng apaan ini? Tidak sesuai dengan seleraku.” Ucapku sambil melempar piring berisi nasi goreng murahan itu.

Aku menatap malas ke arah ibuku yang sudah menangis. Menurutku dia sangat lebay. Aku tidak ingin meladeni ibuku yang berlaku seperti anak kecil. Aku berjalan dengan seragam putih abu yang lusuh. “Mending ke sekolah,” pikirku.

“Ibu harap kamu selalu menjadi anak yang baik. Semua ini berkat untuk kita. Harus tahu bersyukur nak.” Aku mempercepat langkahku biar suara itu menghilang. Sebenarnya aku malas ke sekolah. Tapi aku tidak memiliki kegiatan lain.

“Woyy anak cacingan!” Aku menghentikan langkahku. Dadaku bergemuruh. Marah, sedih dan aneka perasaan melebur menjadi satu.  Geng tukang bully itu telah menyemburkan bisanya. Pagiku yang redup dibuatnya bertambah gelap. Aku ingin berteriak, tapi suaraku terlalu lemah. Tanganku pun tak terlalu kuat untuk sekedar melampiaskan emosi. Kepalaku hanya bisa menunduk dan menyepakati nasib.

“Angkat kepalamu!” Rinai, si menor itu menyembur lagi. Dengan kasar ia menarik rambutku dan membawaku ke toilet siswi. Aku merintih kesakitan. Byurrrrrrr...aku terkejut. Rinai menyiramku dengan air dari bak toilet. Aku menangis sejadinya. Aku membenci keadaan ini. Aku membenci semuanya. Seandainya aku memiliki kehidupan yang serba ada, tidak mungkin aku ada di posisi ini sekarang.

Aku putuskan untuk kembali ke rumah. Aku tidak ingin menjadi bahan olokan. Apalagi seragamku yang tipis sudah terkena air. Aku malu. Kalau saja aku punya ayah, aku tidak mungkin hidup miskin bersama ibu.

Aku membanting pintu rumah. Itu membuat ibu terkejut. Tapi aku tidak peduli. Yang aku rasakan saat ini hanyalah api kemarahan yang tak kunjung padam.

“Nak, ada apa?” Mata ibu tertuju pada seragamku yang sudah basah.

“Kenapa? Ibu masih bertanya? Justru aku yang bertanya. Mengapa aku terlahir dari rahim seorang miskin seperti ibu?” Aku benar-benar kelepasan. Aku meremas rambutku. Ibu hanya diam. Namun tangannya terbuka untuk merangkulku. Aku dipeluknya. Aku tidak tahu mengapa ia memelukku setelah bahasa sepedis itu kuarahkan padanya. Sontak aku pun memeluknya. Hatiku seolah mengeluarkan air mata.

“Ingat kata ibu, nak. Ini adalah anugerah dari Tuhan. Miskin dan kaya itu hanya takaran angka. Kita semua punya peluang untuk itu. Yang terpenting bukan meratapi nasib. Tapi menatapi nasib.” Suaranya yang berlahan-lahan menghilang. Lalu hening. Aku masih memeluknya. Aku merasa tubuh ibu melemah dan bertopang pada dadaku. “Ibu, ibu kenapa?” Tanyaku khawatir.

“Bangun bu. Ibuuuu.” Aku terus menggoyangkan badannya. Tapi ia masih tidak peduli. Tubuhnya semakin lemas dan aku pun semakin panik. Pertanda apa ini. Aku baru saja baikan dengannya. Semesta dan surga, jangan membawanya pergi. Dengan tenaga yang tersisa, aku menggendong tubuhnya yang ternyata sangat ringan. “Pasti ibu jarang makan,” pikirku merasa bersalah. Aku mecari kendaraan umum dan melarikan ibu secepatnya ke rumah sakit.

“Dokter, tolong selamatkan ibu saya!”

“Sebentar nona. Nona harus mengurus administrasi terlebih dahulu. Saya tidak bisa melakukannya sebelum administrasinya terpenuhi.”

Dunia seakan berhenti berputar. Tangan dan kakiku semakin lemas. Jawaban dokter itu membuatku ingin mencekiknya. Begitu kejamkah dunia padaku? Mengapa semua orang menolak dan tidak membutuhkan aku?

“Nona. Ibu nona sudah tidak bernapas.” Si tukang angkot membuyarkan lamunan dan kebingunganku.

Dadaku terasa semakin sesak. Hatiku yang berwarna merah muda kini menjadi hitam. Surgaku lenyap. Semesta terlalu jahat padaku. Aku kehilangan sosok yang dekat dan selalu ada padaku. Suara yang lembut menyapa aku kini telah bisu.

Sekarang aku sadar. Penyesalan selalu datang setelah orang yang kita sayangi pergi untuk selamanya. Kini, di atas gundukan tanah aku hanya mampu menyusun kembali semua kisah yang telah kami lalui bersama. Aku telah menyia-nyiakan masa laluku.

“Maafkan aku Ibu. Aku lupa caranya bersyukur. Aku buta meski memiliki mata. Harusnya aku bersyukur karena memiliki sosok yang baik seperti ibu. Semesta memanggilmu justru ketika aku membutuhkanmu. Maafkan Ananda Ibu. Sampaikan juga salam dan permohonan maafku untuk ayah,” ucapku sambil menatap hampa ke makam ibu.

Litani Kehilangan

Litani Kehilangan

Cerpen Eto Kwuta

(Catatan Redaksi Oleh Hengky Ola Sura)

Di setiap hari-hari ini, ada seorang yang muncul dan lenyap seperti merayap dalam gelap yang pekat dan tiba-tiba aku merasa malam menjadi lebih pekat. Tak kusangka kalau seorang itu lebih tahu dan memahami aku yang sudah dibentuknya sejak dari janin kecil di dalam rahim ibu, tapi ia membiarkan aku merana, memerangi malam yang sudah menjadi lebih pekat ini.

Di sebuah balkon, aku berdiri melihat ke luar. Selimut malam masih pekat membentang jauh ke depan. Adapun sebuah kota di depan bola mataku dengan lampu-lampu yang biasanya mengeluarkan cahaya terang kerlap-kerlip di malam hari, tapi rupanya kota itu sedang tidur atau mati. Itu kota karam yang mulai tercium pengapnya, kala seorang itu hanya muncul dan lenyap seperti merayap dalam gelap malam.

 

“Kamu sendirian di balkon. Menunggu siapa?” tanya seorang pria yang bekerja di surat kabar nasional.

“Sedang tunggu seseorang yang sukanya muncul dan lenyap,” kataku.

 “Yang seorang itu rupanya tak mau bertemu denganmu, siapa ya?”

“Seperti yang kau tahu, ia sedang ke kota,” jawabku seperlunya. Si wartawan terkekeh. Ia merasa cocok bicara denganku, katanya.

“Oh ya, dia pasti sukanya hidup dan mati, ‘kan?”

“Mana mungkin kutahu,” jawabku lagi. Kami pun bercakap-cakap tentang seorang yang sedang menuju kota. Dia yang suka jalan-jalan ke luar. Pergi dan pulang, hilang dan muncul.

“Ada apa denganmu? Kamu tampak tak ingin jika dia datang?”

“Siapa?”

“Tuhan, ‘kan?” jawabnya tidak meleset. Kami masih berdiri di atas balkon sebuah gereja yang terletak di bukit. Percakapan kecil baru saja dimulai. Aku memang merasa akhir-akhir ini sebaiknya melakukan tindakan yang bodoh. Bunuh diri pun bisa. Sangat sederhana sekali tindakan itu. Tapi, apa gunanya hidup kalau setiap hari bau tubuhnya tercium, menarik aku ke masa lalu, menggali kuburanku sendiri, lalu mencampakkan aku ke dasarnya. Begitukah yang namanya kehilangan?

Dulu, yang merasa kehilangan itu hanyalah orang yang pulang dari medan perang. Ketika pecah Perang Dunia II, ribuan relawan terjun langsung untuk mati dan hidup lagi. Sekarang, garis tanganku ditakdirkan supaya Maria yang tak lagi mencintaiku pun perlahan membunuh aku dengan caranya. Cara diam, tapi kejam. Ia diam dan aku terus memburunya dalam seorang yang selalu saja ke luar kota.

“Kapan baru ada jawaban? Kamu yang membunuh aku, bukan dia. Bukan dia yang membunuh aku, ‘kan?” kuteriak dengan keras dari balkon. Suaraku membentur dinding-dinding malam yang semakin pengap. Kota karam masih jauh di sana. Ah, mestinya kulupakan kesedihan ini, juga doa-doa yang tak juga sunyi seperti Tuhan. Apalagi dingin merasuk di puncak bukit seolah kami berada di belahan dunia yang jauh ke kutub itu.

Bro, baiknya kita bercerita tentang vampire…., saya lebih suka menulis berita tentang kematian yang berdarah-darah, atau makhluk apa pun yang lebih ganjil, sebut saja kerajaan vampire melawan kerajaan serigala,” ungkap si wartawan.

“Apa maummu?”

“Cuma menunggu ada kejadian luar biasa, lalu saya bakal meliputnya. 5W1H akan mendapat tempat dalam berita baru. Saya mungkin menunggumu bunuh diri, hehehehe,” katanya ceplas-ceplos. Maklum, wartawan biasanya rajin dan cerdik dalam mengobrak-abrik kata dan membuat berita. Aku mendengarnya bicara seputar vampire dan makhluk ganjil. Ia sungguh menyukai cerita itu. Malahan, dirinya ingin menjadi keduanya, kalau Tuhan mau, katanya begitu. Dengan seluruh ekspresi dan pembawaan seorang wartawan, ia mengambil gambar diriku. Ia menginginkan aku cukup menjadi seorang model, sumber inspirasi dan tokoh utama dalam ceritanya tentang vampire.

“Itu artinya, aku mau jadi antagonisnya,” kataku.

“Jangan, kamu perankan yang protagonis,” bujuk si wartawan dengan ramah.

“Tidak. Aku mau jadi vampire saja. Biar pencipta vampire itu yang protagonis,” kataku sambil melihat kemungkinan menang melawan si pencipta vampire seperti aku ini.

“Sob, kamu membenci-Nya? Gara-gara perempuan yang pergi dari hidupmu, lalu semuanya tampak seperti Tuhan lebih suka hilang bersama sang perempuan itu. Saya terharu. Kita monoteis, bro, kita samawi, dari langit itu, kan?” ia mempertanyakan keyakinanku di malam hari yang sudah sangat pekat sekali.

“Bro, aku akan menjadi vampire yang mati said di tengah kota Jakarta dalam minggu ini. Siap diri, liput aku dari awal sampai akhir, biar Amerika, Rusia, dan China mengetahui, aku laki-laki theis tapi sekarang atheis,” kataku dengan emosi yang semakin tak lagi terkontrol. Amarahku meledak seperti ketika aku meledakkan bom di pulau Dewata, dan aku mau mengulang lagi. Tempat yang pas untuk melancarkan aksiku ialah kompleks perumahan pak Ahok. Biar orang seperti dia juga mengalami kehilangan seperti aku. Pak Ahok kehilangan keluarga dan aku sudah kehilangan pacar.

“Tidak apa-apa bro, saya siap melayani kamu; hanya saja saya tak cukup yakin orang seperti kamu, kita sama-sama Samawi, tapi kok kamu tega begitu sih! Kehilangan yang kamu rasakan itu tidak berbentuk lagi,” kata si wartawan.

Lalu, aku menegaskan bahwa yang tidak berbentuk itu sebenarnya kosong, tidak punya isi, tapi aku punya kehilangan. Kemarin, di kampung Melayu sudah terbukti. Aku juga kehilangan saudaraku yang diledak-ledakan seperti binatang. Lalu, ke mana Tuhan? Ia terus saja muncul dan lenyap seperti ular, seperti ular, Ia terus merayap di balkon ini. Bahkan, merayap di dalam nadiku.

Kita bagaikan orang dungu yang menunggu waktu menghentikan kita. Sama-sama punya Pancasila, tapi masih saja bilang rubah saja Pancasila! Dan, karena ketegaran hati orang-orang yang kehilangan seperti aku, maka aku mau menggantikan sila pertama dengan ke-tuan-an yang maha esa. Itu lebih pas dan tepat sasar.

**

Kami masih bergelut dengan merencanakan sebuah perang. Perang melawan kehilangan sekaligus kehilangan dalam berperang. Aku akan memberi wartawan sebuah kehidupan yang bahagia dan aku juga pasti bahagia kerana memilih mati said. Si wartawan merasa bangga karena aku bisa memberinya berita yang aktual, membuatnya terkenal, nanti bila sudah kuledak-ledakan kota Jakarta.

Dia, si wartawan tampak tersenyum. Malam yang pengap oleh bau kematian terus mengepul di sekitar kami. Aku pun mencium sebentuk bau yang tidak asing. Bau yang sering membuatku terlena dan sebisa mungkin mengalah pada keadaan sekarang ini. Bau itu persis seperti harumnya parfum milik Maria, seorang yang tiba-tiba saja hilang dan muncul seperti bau badan Tuhan yang dipercayai oleh aku yang Samawi. Bau bajunya, keteknya, ya, bau tubuhnya yang kencang oleh karena ia sudah membusuk di dalam kepalaku.

Di kepalaku, malam itu, kami mengumpulkan batu-batu untuk menggali kuburan baru bagi semua yang belum pernah merasakan kecemasan dan kehilangan yang dahsyat. Di atas balkon yang dingin nan sesak, aku tahu Maria duduk tertawa di relung malam itu, di rumahnya yang sunyi tanpa aku. Ia berharap aku segera terbang ke Jakarta dan membuat sejarah terulang lagi. Sejarah yang sebaiknya, jangan sekali-kali kami lupakan, karena kami lebih bahagia membuat Tuhan tertawa dan menangis oleh karena perang.*

Lamahora-Lembata, Minggu, 04 Juni 2017

Teruntuk yang hilang dan yang hidup.

Terinspirasi dari puisi terbaik Indonesia karya Sunlie Thomas Alexander berjudul “Litani Kecemasan”.

 

Kehilangan yang Asing

Catatan Redaksi Oleh Hengky Ola Sura-Redaksi Seni Budaya Voxntt.com

Litani Kehilangan karya Eto Kwuta kali ini buth pembacaan yang ketat. Jika dibaca mengalir saja maka yang ada dan hidup dalam benak pembaca adalah semacam rasa asing. Apa sih maksud cerpen ini? Percakapan dengan wartawan akhirnya membawa tokoh aku dalam cerpen ini lebih pada rasa frustrasi kehilangan seorang perempuan bernama Maria. Tokoh wartawan dalam cerpen Eto bisa jadi merujuk pada wartawan investigasi yang menulis kisah reportasenya dengan sangat detail dan panjang. Sosok si Aku dan wartawan dalam cerpen ini adalah tipikal orang-orang aneh yang model diskusi mereka saja boleh dibilang berkelas untuk kalangan mereka saja. Diskusi tentang paham ketuhanan juga tentang ateis jadi tema pokok untuk membahasakan kehilangan seorang pujaan hati yang dipunyai tokoh Aku. Jika saja Eto lebih menukik dengan memfokuskan cerita kehilangan perempuan pujaan hati lalu mengeksplorasi rasa kehilangan dengan rencana tindakan anarkis atau semacam sebuah tragedi kehilangan lebih besar dengan mengorbankan banyak orang maka pasti lebih dramatis. Atau bisa jadi mati sahid yang Eto ingin ciptakan mungkin lebih dahsyat bagi pembacaan semua yang menikmati cerpennya.

Sayangnya Eto justru lebih fokus pada semacam cerita seputar bom Bali, tentang Ahok yang hemat saya kurang terlalu menggigit dalam relung juga imaginasi pembaca. Litani Kehilangan seperti yang dikisahkan Eto kali ini kurang sreg tinggal dalam hati dan pikiran pembaca karena secara heuristik dan hermeuneutik kurang memberi makna juga kesan yang mendalam.

Pada halnya dari judul cerpen saja saya kira pembaca musti senantiasa dihantar pada rasa dug-dag akan kehilangan macam apa yang hendak dibawa Eto kepada pembaca. Cerpen macam ini jika plot, alur, penokohan juga setingnya didalami dengan membiarkan cerita bercerita maka kehilangan yang dimiliki si Aku bisa jadi milik semua yang membaca. Jika tidak maka yang terjadi adalah pembaca bisa jadi paham tentang kehilangan itu tapi bisa juga bingung dan merasa ini kehilangan si Aku yang asing.***

Sumber: https://voxntt.com/2017/08/27/litani-kehilangan/?fb_comment_id=1187101778056734_1188892821210963, Diakses, Sabtu, 20 April 2019.

Senja

Senja

Nama saya Pram, usia, pekerjaan, status, nanti dulu. Mungkin saya menjadi salah satu  anak paling malang di kota kecil ini.

Peta Lokasi

Social Media