ELEGI KEPERGIAN IBU
Namaku Indra, pemuda dua puluh lima tahun berasal dari kampung dan sekarang sedang melanjutkan kuliah di salah satu kampus terkenal di ibu kota. Selepas pulang kuliah siang itu, aku duduk termenung di teras kamar sambil memikirkan cara untuk merampung skripsiku yang belum selesai. Aku melihat sekelompok anak kecil dengan tubuh mungil baru saja pulang sekolah sambil berlarian di pinggir jalan. Beberapa saat kemudian, aku melihat tiga orang perempuan renta dengan kerut di wajahnya berjalan sambil membawa setumpuk jerami kering dan beberapa potong kayu kecil di atas pundak mereka. Meskipun ini di ibu kota, namun pemandangan semacam ini sudah lumrah karena aku tinggal bersama orang-orang kecil di pinggiran kota yang kumuh.
“Indra, kamu sedang melihat apa?”, Tanya Ivan, seorang teman yang tinggal satu kos denganku.
“Ah Ivan, kamu mengangetkan ku”, jawabku sambil melempar senyuman kecil padanya.
“Bro, jangan terlalu memikirkan hal-hal yang tidak penting, kamu harus fokus untuk menyelesaikan skripsimu saja”, lanjut Ivan sambil memunggungiku.
Kami menghabiskan siang itu dengan kerut di dahi dan beberapa potong kue di piring. Maklumlah, Ivan ini seorang yang berada. Ia berasal dari keluarga kaya di desa kami. Hidupnya sangat berkecukupan; punya pacar cantik, motor bagus plus Iphone yang mahal. Ivan tidak seperti aku yang hidup serba kekurangan ini dan itu. Makanya skripsiku belum juga rampung karena aku kekurangan uang untuk membeli kertas dan membayar print. Sebelum sempat aku merebahkan badan ke kasur, aku mendengar suara seorang perempuan muda berumur belasan tahun. Pikirku itu pasti pacarnya Ivan, dan ternyata memang benar, perempuan itu datang bersama seorang temannya. Sebagai tuan rumah, tentu aku menyambut mereka dengan senyuman yang paling manis. Akhirnya cerita kami di siang itu penuh dengan canda tawa.
“Indra, seingat saya kamu selama ini belum pernah menelpon orangtua di kampung. Apakah kamu tidak rindu?” Tanya Ivan dengan ekspresi santai sambil mengisap sebatang rokok surya yang ada di atas meja.
“Aduh benar sekali Van. Bukannya tidak mau menelpon, tapi aku tidak punya pulsa bro. Jangankan beli pulsa, untuk beli beras saja aku hampir-hampir tidak bisa.” Balasku penuh pasrah dengan raut wajah yang tak biasa.
“Ting..ting..ting..” bunyi ponselku dari dalam saku celana.
“Indra…anakku sayang. Apa kabar? Aku harap kamu tidak kaget setelah aku memberitahukan hal penting ini padamu.” Suara lembut seorang lelaki tua yang mengagetkanku siang itu. Ya, itu ayahku. Seorang pensiunan guru yang hidup dengan bermodalkan hasil kebun yang secukupnya.
“Hallo..ayah., ada apa? Jangan buat aku penasaran. Aku harap kali ini ayah bawa berita baik”. Jawabku dengan nada yang sedikit tinggi. Maklumlah, selama ini lelaki tua itu selalu memberiku kabar buruk tentang kondisi keluarga kami yang serba kekurangan uang dan makanan.
“Ibumu sakit keras nak. Ia tidak bisa berjalan lagi. Sekarang ibumu hanya terbaring lemah di atas tempat tidur. Kalau tidak keberatan, kamu boleh pulang ke rumah untuk menjenguknya. Karena ibumu selalu menanyakan dirimu”. Katanya dengan halus sambil menangis.
“Ha…. ibu sakit? Oh Tuhan cobaan apalagi yang Kau berikan ini. Belum puaskah Engkau membuat aku seperti ini?” celoteh ku seakan menyalahkan Tuhan atas semua yang terjadi.
Sesudahnya, aku menutup telpon dengan suasana hati dan kepala yang kacau. Setelah menceritakan semuanya kepada Ivan, ia lalu bersedia membantu aku membelikan tiket kapal agar aku bisa pulang kampung untuk menjenguk ibu yang sedang sakit keras. Pada pertengahan Februari 2023, aku tiba di rumah setelah menempuh perjalanan yang melelahkan. Setibanya di teras rumah, aku mencium aroma kesedihan lantaran ibuku sakit. Sebelum sempat aku menyapa ibu yang terbaring lemah di kasur, air mataku mengalir deras tak tertahankan. Ragaku lemah hingga membuatku tersungkur di samping ibu. Tak ada sepatah kata pun terucap dari mulutku. Kami berdua berbiacara dari hati ke hati sebagai ibu dan anak yang telah dilahirkan dan dibesarkanya. Ikatan batin kami sangat kuat melebihi apapun. Hari terus berganti, ibu tak kunjung membaik. Kondisinya makin menurun, bahkan lebih parah dari sebelum aku tiba. Tak pernah aku mendengarnya berbicara lagi sejak saat itu. Senyuman indah tak terlihat lagi. Segala tanya dijawab dengan anggukan kepala dan kedipan mata. Sungguh perih tak tertahankan. Seperti kakak dan adikku yang setia merawat dan membantu ibu, aku pun tak ingin melewatkan momen itu meski sekedar menatap wajahnya dan mengelus kepalanya sebelum tidur. Inilah saat bagi aku dan saudara saudariku membalasa semua jasa ibu yang setia merawat dan membesarkan kami dari kecil hingga sekarang. Setiap momen bersama ibu aku rayakan dengan sungguh sebagai sesuatu yang bermakna dalam hidupku.
“Yuliana… adakah luka di hatimu hingga engkau tega membiarkan aku, anak-anak, menantu dan cucumu larut dalam kesedihan lantaran kondisimu tidak kunjung membaik?” Kata ayahku dari samping tempat tidur ibu dengan suara lembut sambil menyeka air matanya.
Sungguh mati, sebagai anak yang sudah lama tinggal jauh dari orang tua aku tidak sanggup mendengar kata-kata ini. Setiap kata yang diucapkan ayah memberiku kesedihan yang amat mendalam. Segala perasaanku hanya bisa diungkapkan lewat air mata. Setelah ayah mengucapkan kata itu, sejak saat itu juga ibu mulai kehilangan kesadarannya. Matanya hampir-hampir tidak dapat dibuka lagi. Ibu yang mengajariku berbicara kini telah bisu seutuhnya. Ia membiarkan kami anak-anaknya berbicara dengannya dari hati ke hati. Kasih sayangnya masih membara dalam hatinya meski ia tidak bisa berbuat apa-apa. Dalam keadaan yang amat menyedihkan ini, aku sepenuhnya berpasrah kepada Tuhan, sebab Dialah yang mampu berbuat banyak untuk ibuku. Menjelang hari kepulanganku ke ibu kota, aku seakan mencium aroma kepergian ibu untuk selamanya. Dalam hatiku selalu mencari cara agar nantinya aku kuat dan tegar bila ibu benar-benar pergi.
Tepat pada tanggal 28 Februari 2023, ibuku berpulang ke pangkuan Bapa di Surga. Ibu pergi setelah semalam-malaman bergelut dengan sakrat maut yang mengerikan. Ibu begitu kuat hingga ia masih mendapatkan kesempatan bernafas untuk beberapa jam kemudian setelah pertarungan itu. Lalu pada pukul 05.30 WITA sesudah berbicara dari hati ke hati dengan ayah, ibu pergi untuk selamanya. Isak tangis memecah keheningan yang masih menyelimuti seluruh kampung pagi itu. Aku sangat terpukul dengan kenyataan ini. Kepergian ibu seakan mematikan seluruh daya dalam ragaku. Aku tergeletak tak berdaya di samping jenazah ibu. Setelah dua hari dibaringkan, akhirnya jenazah ibu dimakamkan dekat pemakaman kakek dan nenekku.
Kepulanganku ke ibu kota untuk melanjutkan kuliah tak bisa ditunda. Dengan air mata dan segenap tenaga yang masih tersisa, aku kembali ke ibu kota. Hari-hariku di ibu kota dipenuhi kerinduan yang tak berujung kepada ibu yang telah berpulang. Ingin rasanya pulang ke rumah lagi menghabiskan seluruh hidup bersama ayah dan kakak serta adikku.
Di akhir dari kisah ini, aku ingin menuliskan sebuah pesan kerinduan kepada ibu; ibuku sayang. Sampai di mana perjalananmu kini? Andaikan ibu mengerti tentang beratnya perjuangan seorang anak tanpa kehadiran seorang ibu yang selalu memberi kekuatan. Andaikan ibu paham tentang betapa hampanya hidup seorang anak laki-laki yang lama hidup di tanah orang, ketika ia pulang ke rumah tak didapatinya lagi sosok seorang ibu. Sungguh berat menanggung kerinduan ini Ibu. Hingga sekarang aku masih merasa beban karena tak bisa memberikan kebahagiaan untukmu meski hanya sedikit lantaran dirimu kini telah pergi selamanya.
#Cerita ini ku tulis dengan sepenuh hati karena kerinduan akan ibu yang telah tiada. Aku seperti seekor burung yang kehilangan sayapnya ketika ingin terbang. Aku kehilangan. Separuh jiwaku pergi#
Andy Denatalis