Oleh: Petrasia Febiana Rata (Siswi SMK Swasta Katolik Syuradikara. Kelas X UPW)
Hari masih gelap. Kabut malam belum sepenuhnya beranjak. Diantara lipatan selimut, aku masih terbaring seolah tak rela kulitku dijamah hawa yang dingin. Aku sangat bosan. Malas untuk pergi ke sekolah. Sekolahku dipenuhi dengan komplotan tukang bully. Aku selalu menjadi sasaran empuk ketajaman lidah mereka. Aku kadang berpikir, mengapa aku terlahir dari keluarga miskin seperti ini?
“Ananda, bangun sayang. Kamu harus ke sekolah.” Suara ibu menggema di telingaku. Aku menjadi geram. Apakah dia tidak tahu kalau aku sangat menyesal karena terlahir dengan ekonomi serba sulit seperti ini? Ckk! Tapi aku terpaksa bagun dari tempat tidurku dari rotan dan dialasi dengan kasur tipis. Kenyataan ini juga yang membuat tidur dan mimpiku tidak terlalu baik.
“Ayo sarapan! Nasi goreng kesukaan kamu telah ibu buatkan.” Aku menatap jijik ke arah nasi goreng itu. “Nasi goreng apaan ini? Tidak sesuai dengan seleraku.” Ucapku sambil melempar piring berisi nasi goreng murahan itu.
Aku menatap malas ke arah ibuku yang sudah menangis. Menurutku dia sangat lebay. Aku tidak ingin meladeni ibuku yang berlaku seperti anak kecil. Aku berjalan dengan seragam putih abu yang lusuh. “Mending ke sekolah,” pikirku.
“Ibu harap kamu selalu menjadi anak yang baik. Semua ini berkat untuk kita. Harus tahu bersyukur nak.” Aku mempercepat langkahku biar suara itu menghilang. Sebenarnya aku malas ke sekolah. Tapi aku tidak memiliki kegiatan lain.
“Woyy anak cacingan!” Aku menghentikan langkahku. Dadaku bergemuruh. Marah, sedih dan aneka perasaan melebur menjadi satu. Geng tukang bully itu telah menyemburkan bisanya. Pagiku yang redup dibuatnya bertambah gelap. Aku ingin berteriak, tapi suaraku terlalu lemah. Tanganku pun tak terlalu kuat untuk sekedar melampiaskan emosi. Kepalaku hanya bisa menunduk dan menyepakati nasib.
“Angkat kepalamu!” Rinai, si menor itu menyembur lagi. Dengan kasar ia menarik rambutku dan membawaku ke toilet siswi. Aku merintih kesakitan. Byurrrrrrr...aku terkejut. Rinai menyiramku dengan air dari bak toilet. Aku menangis sejadinya. Aku membenci keadaan ini. Aku membenci semuanya. Seandainya aku memiliki kehidupan yang serba ada, tidak mungkin aku ada di posisi ini sekarang.
Aku putuskan untuk kembali ke rumah. Aku tidak ingin menjadi bahan olokan. Apalagi seragamku yang tipis sudah terkena air. Aku malu. Kalau saja aku punya ayah, aku tidak mungkin hidup miskin bersama ibu.
Aku membanting pintu rumah. Itu membuat ibu terkejut. Tapi aku tidak peduli. Yang aku rasakan saat ini hanyalah api kemarahan yang tak kunjung padam.
“Nak, ada apa?” Mata ibu tertuju pada seragamku yang sudah basah.
“Kenapa? Ibu masih bertanya? Justru aku yang bertanya. Mengapa aku terlahir dari rahim seorang miskin seperti ibu?” Aku benar-benar kelepasan. Aku meremas rambutku. Ibu hanya diam. Namun tangannya terbuka untuk merangkulku. Aku dipeluknya. Aku tidak tahu mengapa ia memelukku setelah bahasa sepedis itu kuarahkan padanya. Sontak aku pun memeluknya. Hatiku seolah mengeluarkan air mata.
“Ingat kata ibu, nak. Ini adalah anugerah dari Tuhan. Miskin dan kaya itu hanya takaran angka. Kita semua punya peluang untuk itu. Yang terpenting bukan meratapi nasib. Tapi menatapi nasib.” Suaranya yang berlahan-lahan menghilang. Lalu hening. Aku masih memeluknya. Aku merasa tubuh ibu melemah dan bertopang pada dadaku. “Ibu, ibu kenapa?” Tanyaku khawatir.
“Bangun bu. Ibuuuu.” Aku terus menggoyangkan badannya. Tapi ia masih tidak peduli. Tubuhnya semakin lemas dan aku pun semakin panik. Pertanda apa ini. Aku baru saja baikan dengannya. Semesta dan surga, jangan membawanya pergi. Dengan tenaga yang tersisa, aku menggendong tubuhnya yang ternyata sangat ringan. “Pasti ibu jarang makan,” pikirku merasa bersalah. Aku mecari kendaraan umum dan melarikan ibu secepatnya ke rumah sakit.
“Dokter, tolong selamatkan ibu saya!”
“Sebentar nona. Nona harus mengurus administrasi terlebih dahulu. Saya tidak bisa melakukannya sebelum administrasinya terpenuhi.”
Dunia seakan berhenti berputar. Tangan dan kakiku semakin lemas. Jawaban dokter itu membuatku ingin mencekiknya. Begitu kejamkah dunia padaku? Mengapa semua orang menolak dan tidak membutuhkan aku?
“Nona. Ibu nona sudah tidak bernapas.” Si tukang angkot membuyarkan lamunan dan kebingunganku.
Dadaku terasa semakin sesak. Hatiku yang berwarna merah muda kini menjadi hitam. Surgaku lenyap. Semesta terlalu jahat padaku. Aku kehilangan sosok yang dekat dan selalu ada padaku. Suara yang lembut menyapa aku kini telah bisu.
Sekarang aku sadar. Penyesalan selalu datang setelah orang yang kita sayangi pergi untuk selamanya. Kini, di atas gundukan tanah aku hanya mampu menyusun kembali semua kisah yang telah kami lalui bersama. Aku telah menyia-nyiakan masa laluku.
“Maafkan aku Ibu. Aku lupa caranya bersyukur. Aku buta meski memiliki mata. Harusnya aku bersyukur karena memiliki sosok yang baik seperti ibu. Semesta memanggilmu justru ketika aku membutuhkanmu. Maafkan Ananda Ibu. Sampaikan juga salam dan permohonan maafku untuk ayah,” ucapku sambil menatap hampa ke makam ibu.