Cerpen

Senja

Nama saya Pram, usia, pekerjaan, status, nanti dulu. Mungkin saya menjadi salah satu  anak paling malang di kota kecil ini.

Kota yang kata orang jadi kota paling dingin sedaratan Flores, 16 tahun 5 bulan tanpa melihat dan mengenal bentuk serta raut wajah orang tua. Orang yang katanya jadi wujud kehadiran Tuhan di dunia. Berkembang menjadi anak yang tidak pernah merasakan kasih sayang sang malaikat. Tetapi, sekarang wujud yang penuh kasih sayang itu saya temukan dalam diri opa Mus. Orang yang membesarkan sosok saya hingga sekarang menjadi seorang Ketua OSIS di salah satu SMA bergengsi di kota ini.

Semenjak bapa dan mama pergi, keseharian saya berbeda dengan kebanyakan remaja di kota ini yang punya kebiasaan merokok, mabuk-mabukan, mulai pamer-pamer motor, jalan dengan pacar. Itu bukan saya!

Sepulang sekolah, saya harus mengurus opa yang mulai memutih rambutnya. Mengurus dia menjadi hal yang paling istimewa bagi saya. Hal istimewa berikutnya adalah sahabat. Teman mungkin banyak, tapi yang namanya sahabat hanya dua. Pertama, Geri. Dia adalah perokok berat, anak motor, nakal yang pasti, tapi pengertian dan penyayang. Kedua, Daniel. Anak pemilik hotel terbesar di kota ini, pintar, siswa teladan di kelas kami. Persahabatan yang terbilang cukup lama yakni sepuluh tahun. Mungkin kalau dibuatkan novel sudah tercipta lima belas karya dari kami bertiga. Kebersamaan kami selalu tampak pada saat senja tiba memberikan cahaya oranye bagi kota dingin ini.

Senja. Menjadi hal paling indah yang pernah kualami selama ini. Waktu buat jalan-jalan sama pacar? Bukan. Saat di mana kami bertiga, plus opa berkumpul dan saling berbagi cerita. Sepiring kompiang hangat dan segelas kopi pahit sudah menjadi teman yang pas untuk canda ria dan tawa kami.

5 Februari 2014. Senja kali ini berbeda. Dengan bahan candaan yang lebih banyak, persentase tertawa yang lebih tinggi dan jumlah piring kompiang yang kami habiskan lebih   banyak.   Topik   pembicaraannya   kebetulan   jadi favorit opa. Sepak bola. Hari itu Cristiano Ronaldo ulang tahun. Jadi, opa yang lebih banyak berbicara di antara kami. Rasanya adem melihat opa yang mulai memutih rambutnya tertawa ria bersama kami menikmati fajar yang mulai melambaikan tangannya di ufuk barat. Nampaknya tidak ada peluang bagi kami untuk berhenti tertawa. Setiap hal yang sebenarnya biasa saja dibuat jadi lelucon oleh opa yang sifat humorisnya tinggi. Panjang cerita, tiba- tiba sudah pukul 18.30 Waktu Indonesia Tengah.

Warna hitam telah mendominasi langit yang tadinya berwarna oranye. Fajar yang tadinya melambaikan tangannya sudah hilang ditelan bumi. Waktunya kami membereskan teras rumah yang berantakan oleh piring dan gelas kotor. Randi dan Daniel bersiap untuk pulang.

Setiap  pembicaraan  kami  selalu  diakhiri  dengan tos perdamaian yang antik karena hanya kami yang melakukannya di antara milyaran manusia di planet ini. Tetapi, tos perdamaian kali ini terasa lain dari biasanya. Daniel.   Dia   yang   mengkreasikan   salam   ini   terlihat berbeda dari biasanya. Semakin ke sini raut wajahnya yang murung mulai nampak. Dan “Opa, Pram, dan Geri, mungkin ini menjadi senja terakhir saya bersama kalian dan tos perdamaian ini menjadi yang terakhir juga. Besok, Saya dan keluarga saya akan pindah ke Medan karena satu dan dua hal yang tidak bisa saya jelaskan. Ini juga mungkin menjadi kali terakhir saya makan kompiang dan minum kopi bersama kalian” kata Daniel.

Terlihat raut wajah sedih dari opa mulai menebal dan Gery yang sebenarnya seorang nakal sedikit lagi meneteskan air mata. Dalam hati saya hanya berkata “Daniel hebat. Dia bisa menyembunyikan perasaannya selama canda ria kami tadi padahal itu merupakan yang terakhir”.

Daniel yang sudah meneteskan air mata hanya terdiam sembari mengenakan helm dan pulang dengan motornya. Tidak ada satu kata pun keluar dari mulutnya. Geri yang juga sedang menggunakan helm akan pulang tanpa pamit terlebih dahulu. Opa yang sudah berbeda raut wajahnya berbalik dan memasuki rumah. 6 Februari 2014 pukul 05.00 WITA, terdengar notif dari hp saya yang berada di meja. Ternyata sebuah pesan WA dari Daniel. “selamat pagi Pram. Pagi ini saya dan keluarga saya akan berangkat menggunakan pesawat pagi. Terima untuk semuanya selama ini. Titip salam untuk opa dan Geri” hanya di-read.

Aku bergegas bangun dari tempat tidur dan bersiap untuk sekolah. Opa yang biasanya bangun lebih cepat hari ini masih tertidur pulas. Mungkin saja dia masih merasa sedih dengan kejadian semalam. Saya menyiapkan sarapan baginya dan pergi membangunkannya. Di kamarnya terlihat setumpukan surat yang biasa ditulisnya. Tetapi terdapat satu yang baru kayaknya baru dituliskan tadi malam. Dengan segera saya membuka surat itu dan membacanya. Tertulis “Selamat pagi Pram, kalau sudah siap langsung sarapan. Opa mau pamit. Pulang ke rumah yang sesungguhnya. Kalau kamu sudah baca surat ini, Jangan menangis.   Kamu   anak   yang   kuat.   Panggil   tetangga yang dekat-dekat rumah. Bilang kalau opa langsung dikuburkan. Opa sudah tidak punya keluarga lagi jadi mau tunggu siapa. Pesan opa, rajinlah sekolah, turuti kata guru, jangan jadi anak nakal, gapailah cita-citamu. Terima kasih Pram” Seketika suasana berubah. Seakan tiba-tiba menjadi bisu tidak bisa berkata-kata lagi. Beban psikologis yang sangat   berat   ditanggung   oleh   seorang   remaja   SMA ini. Langsung kulakukan semua permintaan opa tanpa memberikan kesempatan bagi air mata untuk jatuh terlebih dahulu. Dan hari ini selesai juga semuanya. Opa sudah hidup tenang. Aku langsung membereskan pakaian dan menginap di rumah Geri untuk sementara waktu. Keesokan harinya berjalan seperti biasa tanpa banyak perubahan. Seakan hari kemarin tidak pernah terjadi.

12 Februari 2018. Belum genap seminggu opa meninggal. Tapi hari-hari berjalan dengan lancar. Hari ini Geri  mengajakku  menontonnya  drag  racing.  Memang sudah hal biasa bagiku menontonnya balapan. Hadiahnya juara satu cukup besar yakni sepuluh juta rupiah. Jika dipikirkan, sangat membantu untuk kebutuhan sehari-hari. Tiba giliranya untuk balapan. Saya yang berdiri dibelakangnya melihat banyak kejanggalan padanya. Cara duduk yang salah, bunyi motor yang tidak bersih seakan ada kendala pada mesinnya, dan start yang salah. Baru lima puluh meter motornya melaju terjadi kesalahan. Ia menabrak pembatas penonton dan badannya terlempar agak jauh. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kecelakaan itu terjadi. Saya hanya berdiri merenung, tanpa usaha untuk berlari ke arahnya. Disaat semua orang mengerumuninya, saya yang berdiri dari jauh hanya bisa mendengar teriakan. “Dia sudah pergi”, “dia sudah tiada”, Tuhan Yesus tolong”. Kalimat-kalimat itu berputar di otakku selama beberapa menit. Kalimat yang sama. Selalu yang sama. Setelah Geri dikuburkan, orang tuanya mengangkatku menjadi anak angkat mereka. Teringat kembali kalimat dalam surat terakhir opa. “Kamu anak yang kuat”. Kalimat ini menjadi bekal bagi hidupku selanjutnya. Hari- hariku kembali berjalan seperti biasa.

Aku  berjalan  kembali  ke  rumah  opa,  kembali  ke teras  yang  menjadi  tempat kami dulunya meghabiskan kompiang        dan        minum kopi bersama. Kembali ke teras yang menjadi tempat kami menghabiskan senja bersama.  Hanya  tentang senja semuanya terjadi dan sekarang      kubuat      seakan tidak pernah terjadi. Memulai semua dari awal dengan satu bekal. “Kamu anak yang kuat”. (Realino Dula)

Peta Lokasi

Social Media