Mading

SMK Swasta Katolik Syuradikara

MONOLOG RAHIM

Oleh: Eto Kwuta

OPENING

(Di stage, disiapkan lenterna atau lampu kuning, digantung di satu tiang, belum dinyalakan, gelap, seperti awal mula bumi dijadikan. Ada tempat tidur, kasur, dan bantal disiapkan, selimut, sebuah meja dan kursi, cerek berisi kopi dan gelas, ditambah 2 bungkus lilin, dan korek api. Instrumen musik kampung mulai berbunyi dan tangisan bayi, serigala, dan bunyi burung-burung malam).

(Resty dirias seperti sosok ibu yang tua, tapi cantik, lalu Resty masuk sambil mengikuti hentakan musik, lalu duduk pada kursi yang disiapkan. Kemudian, Resty menyalakan lampu lenterna atau bola lampu kuning yang disiapkan, kemudian diam sejenak, menuju tempat tidur, berbaring, sedikit mengeluh dan merintih kesakitan, lalu berdiri tertatih, melihat-lihat ke penonton yang ada).

MONOLOG

Ini malam saya hanya ditemani sepi. Heeee, kamu tahu apa itu sepi? (diam sejenak) Sepi itu sakit, penuh rasa sakit, setelah sekian lama saya menunggu (agak gelisah dan cemas). Saya menunggu anak-anak saya datang melawat sepiku. Setiap kalinya rumah saya menetaskan telur di sini, wajah-wajah kamu berseri-seri. Lalu, saya lihat kamu pergi dan pulang, jalan dan berlari, sampai di rumah lalu singgah sebentar saja, duduk sedikit, bangun lagi, lalu melangkah pergi sejauh mimpi Anda membawa kepala, mata, dan hatimu pergi. Ah, saya kesepian, ‘nak! (sedang) Saya kesepian, ‘nak! (sedikit kuat) Saya benar-benar kesepian (lebih kuat dan suara agak susah)!

Hari yang berlari, bulan yang kemari, tahun yang gugur, saya menunggu kamu datang membawa kenang-kenangan. Di sini, ada banyak kunang-kunang dan ada banyak kenang-kenangan. Kunang-kunang itu terbang sambil bercahaya kerlap-kerlip, lalu mati di dalam detik jam di dinding, dan kenang-kenangan itu tinggal sambil mekar selalu di taman hatimu.

Bayangkan…..bayangkanlah….(pelan), ketika pertama kali rumah saya masih muda, berumur satu tahun, dua tahun, tiga tahu, empat tahun, lalu bertahun-tahun lamanya, sampai kutenun tahun ini, heiiiiii, anak! Saya benar-benar mengeram kamu sambil berdoa: “Semoga anak-anak saya menjadi pahlawan! Semoga anak-anak saya menjadi pahlawan utama!” Apakah doa saya dijawab???

Saya! Saya! Saya, telah melewati musim demi musim yang payah, cuaca yang pecah di setiap detik dan detak jantungku, saya masih sangat kuat! Ketika badai mendidih secangkir rindu, aku minum kopi, sambil menyulam kasih sayang dalam doa.

Pergilah ke mana kamu kuutus, anak-anakku! Tapi, jangan lupa pulang membawa kunang-kunang dan kenang-kenangan. Datanglah, hibur ibu pakai lagu, hibur ibu pakai senyummu, hibur ibu pakai keringatmu, hibur ibu pakai bajumu, hibur ibu pakai celanamu, hibur ibu pakai rokmu, hibur ibu pakai lipstikmu, hibur ibu pakai jubahmu yang megah seputih kapas di taman surgawi, hiburlah ibu pakai puisi, ‘nak! Adakah telah kamu berikan buat saya, hai, anak-anakku? Apa yang kamu berikan??? (Diam sejenak, melotot ke arah penonton, mendesah, lalu menangis) Terlalu banyak. Tapi……, belum apa-apa!

Lihat perut ibu, (tunjuk pada perut!) gendut terus sepanjang lorong-lorong waktu! Ibu terus dihamili dengan sabda-sabda tua, ilmu-ilmu sejarah dan matematika yang susah tapi cantik, ilmu sosiologi yang cinta kenyataan, dan pelajaran-pelajaran dari guru-guru yang pernah terukir di dalam kepalaku, aduhhhhhhhh!!!!

Selama hayat masih dikandung badan, ibu tak mau hanya menciptakan dongeng dan mitos di rumah ini. Dari dulu sampai sekarang, ibu mengeram luka, duka, cuka, dan dengan hati terbuka juga pintu yang selalu membuka dirinya: ya……, supaya kamu jadi orang! (sekali lagi dengan suara tegas) supaya kamu jadi orang!!!!

Dengar, ibu mau menyanyi. Sedikit saja, biar hatimu tak galau, ya? Kasih ibu, kepada kamu, tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi, tak harap kembali, bagaikan sang Surya menyinari dunia…. (nyanyi 2 kali, pada ali kedua, sebut kasih ayah.

Itu lagu tua, nak (tertawaaaaaaa sedikit panjang dan natural)! Heee, saya ibumu serentak ayah…., dan lagu tadi dariku buat kamu! Jika kamu merasa galau, menangislah! Karena saya selalu menangis sepanjang hari, di setiap malam yang sepi, sambil kuperam RAHIM-ku untuk membetulkan tangan, kaki, kepala, mata, otak, hati, dan seluruh tubuhmu jadi manusia. Dan sekarang, kamu benar-benar menjadi MANUSIA.

Dan, betapa aku tersentak kaget melihatmu telah membetulkan lagi tubuhmu, dan tinggal dalam kenang-kenangan sambil terbang membawa cahaya kerlap-kerlip ke penjuru dunia. Ada yang pergi dahulu, lalu ada yang masih tinggal dalam kenang-kenangan ibu.

Wah, sekarang kamu datang! Kamu datang! Kamu datang melihat…., aaaa…ku, Aku, saya, aku, saya, aku, saya, saya, KAMI, KAMI SEBAGAI RUMAHMU. RUMAH-RAHIM yang tidak menciptakan dongeng tua, tapi kenangan-kenangan yang tidak mandul di dalam hidupmu! Aku RAHIM yang tidak mandul! Hahahahahah, aku ibumu (Tertawa sambil menangis bahagia...)!

Betapa aku telah melahirkan engkau dan mengutusmu pergi seperti anak domba ke tengah serigala? Beginikah yang namanya ibu dan ayah? Mengutus engkau pergi seperti anak domba ke tengah serigala?? (Diam sejenak, jeda sedikit).

Dengar jeritan hantu, bunyi gesekan kayu di tengah hutan nenek moyangmu, dan seruling pecah di bibir malam ini, betepa serigala selalu menangisi kesepian ibu.  Sepi ibu ini tak punya obat penyembuh apa-apa. Sepi ibu ini adalah doa yang keluar dari sunyi yang paling dalam. Doa yang menetas untuk PERMATA yang terus bersinar di bawah kaki gunung meja.

PERMATA……… ibu tak pernah lupa! (Resty bangun ambil lilin dan menyalakan lilin di tempat yang sudah disiapkan). Kamu semua adalah PERMATA kepunyaan ibu. Kamu telah bersinar selalu di ujung-ujung pulau, ke tubir langit Nusantara, menembus buana, melanglang laut yang bergelombang duka berujung suka…….

Anak-anakku, ibu masih di sini. Ibu memeluk RAHIM yang tak berbatas ruang dan waktu. RAHIM yang suburrrrrr, RAHIM YANG menyemburkan selaksa peristiwa hidup dan mati, RAHIM yang jatuh dan bangun, datang dan pergi, ingat dan lupa, cinta dan benci, benar dan salah, miskin dan kaya, suka dan duka, panas dan hujan, tangis dan tawa, semuanya jadi pelangi paling indah di mata ibu.

Ahhhhk, RAHIM ini masih subur, anak-anakku! Akan tetap subur dan tak akan pernah terkubur oleh musim-musim yang sedang patah. Maka, jangan kamu lupa permata ibu yang telah hilang!!! (Tunjuk ke arah penonton) Jangan lupa!!! Jangan pernah lupa anak-anak!!! Jangan!!!! Jangan lupa!!! (berbicara sedih sambil air mata).

(Resty merebah ke bawah, duduk di tengah lilin yang bernyala. Sambil berdoa dalam sunyi, mengekspresikan rindu, susah, sedih, senang, tangis, benci, sakit, dll.)

PERRRRRR-MATAAAAAA, ibu punya PERMATA. Tak ada mata-mata, tapi perrrr-mataaa, PERMATA, MATA, MATA, MATA RAHIM yang hidup, lalu mati, dan tinggal dalam kepala dan hati ibu. Ibu ingin kamu jangan hanya bermain mata di rumah ini, tapi menjadi PER-MATA yang bersinar dan bercahaya di malam gelap.

Supaya RAHIM ibu tetap SUBUR. Hahahhahahaheeee,,,,, hahahahhahhaha…, usia ibu hampir seabad, tetapi ibu masih muda (Tertawa lagi, tetapi ada nuanasa galau di wajah). Kamu, kamu anak-anakku dilarang tertawa, cukup ibu saja, ya??? Cukup ibu saja, ya?? (Tertawa lagi.., lalu diam sejenak sambil jalan-jalan, lalu menatap ke arah penonton).

Oh ya, ibu memang bahagia, karena ulang tahun, ulang tanggal, ulang bulan, dan ulang hari………, mungkin juga ulang jam…., ibu masih merasa galau. Detik dan detak-detak jantung ibu berdebar, RAHIM ibu terbuka lagi, Sakit ibu menganga kembali, dan RINDU ibu telah menjadi sakramen dalam segenap jiwa ragamu.

65 TAHUN. USIA IBU 65 TAHUN, ADUHHHHHHHHHH!!!! SUDAH SEMAKIN TUA…, RENTA, TAPI RAHIM IBU TETAP SUBUR. INGAT! RAHIM IBU TETAP SUBUR. SUBURNYA ADA DALAM NADIMU, MENGALIR DALAM DARAHMU.

OH, KAMULAH PERMATA! PERMATA YANG MASIH HIDUP DAN BERBUAH BANYAK! TETAPI, ADA YANG TELAH PERGI DIKUNYA BADAI ZAMAN DAN DITELAN WAKTU, TETAPI MASIH ABADI DI RANJANG SUNYI DAN SEPINYA IBU.

IBU INGIN BERNYANYI. MENYELAMI LAGU DAN DOA, MENYALAKAN KERLAP-KERLIP LILIN DALAM BARA API CINTA DAN RINDU YANG TAK PERNAH HABIS. IBU SAYANG KAMU SEMUA. RAHIM INI MASIH SUBUR, ANAK-ANAKKU! AKAN TETAP SUBURRRR!!! JANGAN PERNAH LUPA! PERGI KE UJUNG DUNIA, BERLARI KE BATASNYA, JANGAN PERNAH LUPA, RAHIMKU INI TAK PERNAH MEMINTA BALAS JASA.

IBU MAU, KITA MENYALAKAN LILIN-LILIN KITA SAMBIL BERSYUKUR DAN BERDOA, SUPAYA JANGAN ADA KATA-MASING-MASING, JANGAN ADA KATA SEPARUH, JANGAN ADA SETENGAH SAJA, KARENA IBU SELALU MENCINTAIMU SETENGAH MATI, SETENGAH MATI MENCINTAIMU SAMPAI RAHIM IBU TERKOYAK-KOYAK, TETAPI TAK AKAN ADA RASA TAKUT. DI SINI, TAK ADA DONGENG YANG KAMU DAPATKAN, TETAPI MUTIARA-MUTIARA CINTA, YANG LAHIR DARI RAHIM IBU YANG SELALU MEMANGGILMU UNTUK PULANG. PULANG KE RUMAH. PULANG KE RAHIM.

RAHIM……, RAHIM….., RAHIM IBU……

CLOSSING

(Lagu Ave Maria diputar perlahan, lalu Resty kembali berjalan mengambil lagi lilin, lalu menyalakan satu demi satu pada tempat yang sudah disiapkan, kemudian turun ke depan para penonton SAMBL MENATAP MEREKA DAN BERBISIK kata “RAHIM” dan “PERMATA”, sambil berjalan di tengah mereka dengan lilin menyala, sambil menangis natural. Pada saat ini, lagu PERMATA CINTA diputar, sambil Resty ikut menyanyi atau membuat lippsing, sampai lagu selesai, dan berakhirlah monolog ini).

 SEKIAN DAN TERIMA KASIH

 *Monolog ini dibawakan oleh Siswi SMAK Syuradikara dalam Puncak Acara Reuni Akbar IAS Nusantara dan Dies Natalis SMAK dan SMK Swasta Katolik Syuradikara.

 

Peta Lokasi

Social Media