Cerpen

Anak Seorang Perempuan

Anak Seorang Perempuan

Oleh: Fr. Oktovianus Olong, SVD

Hilde. Gadis yang sudah dua kali mengalami menstruasi itu memiliki satu kebiasaan aneh. Ia senang memetik bunga mawar yang ada di depan pastoral. Ia selalu membawa kembang itu ke kamarnya. Melihat bunga itu lama-lama. Sesekali menciumnya. Dan bila hendak tidur, ia akan meletakan bunga itu di atas dadanya. Bahkan dalam setiap kepulan asap doanya, ia selalu menyelipkan harapan agar Tuhan berkenan menghadirkan bunga mawar itu dalam mimpinya.

Ibunya yang terus mengamati kebiasaan anaknya yang aneh itu sangat terganggu. Kadang ia bahkan marah-marah pada sifat anaknya yang agak diluar nalar itu.

“Jangan petik dan bawa bunga itu lagi ke sini.”

“Kan indah mekarnya”, Hilde membela diri.

Hilde kadang bingung dengan sikap bundanya. Ia selalu membersihkan sendiri sisa bunga itu jika telah jadi sampah. Hanna, ibunya, memang memiliki alasan. Alasan itu lebih dari sekedar mengotori rumah. Juga bahwa memetik bunga mawar dari tangkainya sama dengan mempercepat proses layunya.

                                                                   ♥ ♥ ♥

Hari minggu identik dengan hari untuk bersantai. Banyak orang memilih untuk menghabiskannya di pantai sambil menikmati jus buah atau sejenis rekreasi lainnya. Pastor Degar memilih untuk tetap berada di patoran. Ia ingin merayakan libur dengan cara yang sangat sederhana. Tidur. Tugas pastoral cukup menguras banyak tenaganya. Apalagi paroki yang digembalainya memiliki latar geografis yang cukup memprihatinkan dengan kondisi jalan yang umumnya berstatus jalan provinsi.

Baru memeluk bantal sekitar tiga belas menit, pintu pastoral terketuk. Ia yang kecapean memang sengaja untuk tidak mau membukakan pintu. Tapi pintu terus diketuk. Namanya terus melambung di udara. Ada alasan yang membuat matanya tak mau lagi tertutup. Telinganya menangkap suara bagai kicauan burung. Suara itu mendamaikan hatinya.

Pintu dibuka. Dihadapannya berdiri seorang wanita muda. Beberapa detik baru jatuh. Wanita itu erat memeluknya. Sang Pastor sedikit aneh dengan tingkah wanita itu.

“Ada apa ini???” wajah sang pastor keheranan.

“Bahumu adalah laut. Padanya sejuta sungai air mata ini tertampung.” Wanita itu menjawab spontan.

“Tapi laut bisa saja mendatangkan badai.”

“Aku tak cemas soal itu. Aku selalu yakin. Ketika terjun dalam laut itu, ada ikan kecil yang tersenyum indah.”

“Sungguh sial nasibmu burung yang malang. Sayap-sayap cintamu pasti telah patah.” Sang pastor mencoba menemukan alasan

Wanita itu menagis sejadi-jadinya. Tarikan napasnya sangat terdengar jelas. Wanita itu belum juga melepaskan Sang Pastor. Walau nada suaranya jelas memperlihatkan kecemasan pada sang gadis, Pastor Degar cukup menikmati adegan itu. Dipeluk oleh seorang wanita muda adalah pengalaman baru baginya. Imajinasi liar mulai memenuhi batok sang pastor. Amukan nafsu menenggelamkannya.

“Tepat katamu pastor. Sayap cintaku patah. Aku ditelan sepi. Jiwaku kerontang oleh panasnya mulut lelaki yang dulu datang kepadaku dengan senyum paling segar ditangannya.”

“Perkara cinta memang sulit. Ia bagai amukan topan. Hanya orang yang sungguh siap yang berhasil melaluinya”, tegas Pastor Degar. “Tapi saya yakin, engkau belum terlalu telat untuk datang padaku. Mungkin engkau sering mendengar, perdamaian sering dirayakan di atas altar suci. Dalam kasusmu, perdamaian pun bisa aku rayakan. Di atas tubuhmulah ritus itu akan kulaksanakan.”

“Apa?” Hanna sedikit kaget.

Hanna tentu tidak bisa buat apa-apa. Pastor itu begitu kuat menggenggamnya. Kini ia serupa layang-layang. Membiarkan angin membawanya di angkasa. Masalah tak terselasaikan. Muncul problem baru. Tak hanya sayap cintanya yang patah kini. Selangkangannya juga diacak-acak.

                                                                                    ♥  ♥  ♥

Bila malam tiba hati Hanna hacur lebur. Ia tak kuat menatap wajah Hilde yang berbaring manis dengan bunga mawar di atas dada. Hati kecilnya selalu berkata “Hilde yang manis. Engkau tak tahu, juga takan kuberi tahu. Mawar itu sengaja kutanam di depan pastoral dulu. Mawar adalah simbol pemilik taman. Orang selalu menatapnya indah. Ada alasan yang tersembunyi di sudut jiwaku.”

Itulah alasan mengapa Hanna tidak mau melihat Hilde bangga dengan kebiasaannya. Hatinya hancur. Juga mengingatkan dia akan peristiwa kelam masa lalu. Tapi ini adalah rahasia. Hanna tak mau air itu meluap. Jika sampai air itu mendidih, ia bahkan membiarkan air itu meluap lalu menyakiti hatinya sendiri. Ketika ditanya Hilde,

“Bu, sebenarnya aku ini anak siapa???

“Anak seorang perempuan,” Begitulah ia menjawab.

*Cerpen ini pernah dipublikasikan di rakatntt.com. Kini dimuat kembali dengan beberapa perubahan.

Peta Lokasi

Social Media