Cerpen

         MEMELUK MAWAR

Ibarat senja di musim hujan, kepergianku selalu tak bisa kau tebak dan aku merasakannya kini ia kian mendekat. Perihal mencintaimu sedalam lautan selalu merupakan suatu ketakmungkinan bagiku yang selalu tak bisa menetap selama yang kau inginkan. Aku paham bahwa hubungan kita sebenarnya bisa makin erat selamanya, namun di lain waktu aku dan kamu ternyata berbeda jalan. Ibarat di persimpangan jalan, aku berjalan ke lain arah dan kamu mungkin tinggal tetap. Tapi satu hal yang tak mungkin dapat disangkal adalah bahwa memang kita harus berpisah. Kamu harus tahu kalau itu adalah salah hal yang tidak aku inginkan untuk terjadi dalam hidup yang malang ini. Tetapi tetap teguh untuk bertahan selalu merupakan hal yang tak mungkin bisa aku lakukan. Aku mengerti kalau dalam hati dan kepalamu selalu ada rasa cinta yang tak dapat diukur dalamnya. Dan aku pun begitu. Pada titik ini, aku menyadari bahwa kita berdua seperti setitik debu di tengah padang pasir yang maha luas; ditiup badai kapan saja ia mau. Bukan karena ia mau, tapi takdirnya memang seperti itu. Maka dengan setulus hati aku katakan bahwa kita hanyalah salah satu dari sekian banyak pasangan di dunia ini yang berpisah karena takdir.

Awal bulan November lalu, pada hari dan tanggal yang tak sempat aku ingat dengan baik, aku dan kamu bertemu dalam angan yang sama untuk menjadi sepasang kekasih. Kala itu, kita asyik bertukar cerita bersama di bawah naungan pohon depan rumah. Dari ceritamu, aku paham bahwa kita sama pejalan jauh; dari masa lalu yang kurang enak dan sekarang sedang berikhtiar untuk memiliki masa depan yang baik. Namun dalam hal ini, kamu tetap beruntung karena punya masa depan yang cerah. Sedang aku masih hanya sebatas angan-angan dalam tanda tanya, sebab aku masih berada di sepertiga jalan menuju masa depan itu. Pada baris terakhir dari semua ceritamu, ada satu pesan yang masih melekat erat dalam kepalaku “Gery yang baik, hidup itu misteri. Kita tak akan pernah tahu seperti apa kita di hari esok. Berjuanglah dari sekarang dengan segala kelebihan yang kamu miliki. Jika kamu berusaha, maka masa depan itu milikmu”. Sungguh pun kata-kata ini aku rasa seperti gemerlap senja yang menghantar aku pada malam yang khusyuk. Sejak saat itu, aku mulai berani untuk menaruh rasa padamu sedalam mungkin.

Pada akhir Desember sebelum hari pergantian tahun, aku memberanikan diri untuk mengajakmu pergi ke Café terkenal di kota. Di sudut ruangan yang kita sebut relung hati, mata kita beradu pandang hingga ku rasa tatapanmu jatuh tepat di sudut mataku. Sungguh pertemuan malam itu menjadi awal dari pertemuan-pertemuan kita selanjutnya. Waktu berjalan begitu cepat. Hubungan kita pun kian erat. Aku dan kamu selalu saja tekun menenun cinta dari kisah-kisah perjumpaan dan perjalanan yang sama-sama tak ingin berakhir. Kisah kita makin kuat dan aku sangat yakin kalau itu semua karena kesetiaan yang kita miliki. Di awal bertemu tak ingin berpisah hingga kini dengan kisah kita yang panjang ini tentu tak ingin berpisah, aku ataupun kamu sama-sama tak ingin pergi. Semua keadaan ini seakan berpacu dengan waktu; waktu kepergianku dan waktu di mana kamu tak melihatku lagi.

Angel waktu dua tahun itu bukan waktu yang singkat. Dua tahun kita bersama; selama itu juga kita sama-sama menenun cinta dari sisa luka masa lalu kita; selama itu juga kita menanam benih cinta dan menyiramnya dengan setia. Bukankah kesetiaan ini sangat cukup untuk menguatkan langkah kaki kita menuju masa depan yang kita impikan? Sejak terakhir aku mengucapkan kalimat ini, aku tak pernah melihatmu senyum lagi seperti dulu. Aku mencatat sementara, hanya langit yang mahatahu semua ini. Ekspresimu seakan menjadi misteri bagi seluruh pergumulanku dalam hati. Tapi satu hal yang harus kau tahu bahwa semakin kamu begitu, seluruh diamku seakan bergemuruh mencari cara untuk membawamu kembali. Ibarat sebuah cahaya akan menjadi terang saat ada kegelapan yang menyelimutinya; maka aku pun berniat untuk menciptakan kembali senyumanmu yang indah itu. Namun terkadang aku berpikir bahwa berniat saja tidak cukup untuk membawamu kembali. Ibarat membidik notasi lagu-lagu W. A. Mozart, aku berpikir bahwa feeling saja tidak cukup, tetapi harus punya kemampuan lebih untuk membuat harmonisasi sekian banyak notasi yang rumit. Maka dengan segenap hati ku katakan Angel, bahwa aku akan membawamu kembali kepada dirimu yang dulu ketika pertama kali kita kenal.

Sekian bulan senyummu hilang, rasa-rasanya hari-hari itu diselimuti mendung yang tak berkesudahan. Mendung tapi tak hujan itu sama seperti memeluk kesedihan di mataku sendiri. Penyesalan telah membuatmu seperti itu selalu datang di kala kesendirianku datang mendekat. Dirimu dan segala sesuatu tentangmu selalu renyah dan gurih untuk dikecap. Sesekali aku menggumam dalam hati “bagaimana mungkin aku bisa berpaling darimu Angel, sedang namamu terlampau nyaman di setiap doa yang ku gaungkan tanpa letih”. Namun rupanya anganku ini terlalu sederhana untuk menjangkau langitmu yang mahatinggi; anganku terlalu rapuh untuk memeluk cintamu yang teramat sempurna. Maka di relung duka yang dalam ini aku sampaikan padamu perihal mencintaimu seperti memeluk mawar berduri; durinya menikam sangat dalam merobek seluruh sendiku. Di akhir dari kisah ini aku ingin mengatakan padamu Angel; jika kau pikir aku takut kehilanganmu, kau tak sepenuhnya benar. Kehilanganmu mungkin akan sangat menyakitkan dan itu menakutkan. Tapi aku lebih baik memilih untuk tumbuh dari penderitaan dan perjuangan melepaskan, daripada sekarat dan terseok-seok berusaha mendapatkan cinta dan sayangmu yang memang tidak tersediaJika kau berkenan, maka izinkan aku untuk berhadapan dengan rasa sakit ini. Meski engkau pergi dan menghilang, namun tetap saja engkau seperti mawar yang tumbuh di relung gua hatiku yang gersang. Teruntukmu wanita yang pernah singgah sebentar namun membekas hingga purna waktu.

 

Andy Denatalis, SVD

Seorang pegiat asmara yang takut kehilangan wanitanya. Ia tekun merawat cinta yang selalu mekar dalam hatinya. #Aku bukan fakir asmara#

Peta Lokasi

Social Media