GADIS BERKERUDUNG SENJA
Masih ku ingat gemerlap senja menyambut senyummu yang selalu sumringah di sudut kota. Aku begitu kagum pada Tuhan yang menciptakanmu seindah itu. Kali ini aku tidak bersusah payah mencari wajah Tuhan, karena dirimu serupa wajah-Nya yang tersembunyi itu. Di baris terakhir dari semua doa dan madah puji yang ku gaungkan tanpa letih, namamu selalu kan ku sebut. Sesekali dengan suara merdu aku meminta pada Tuhan agar kamu menjadi milikku selamanya. Namun rupanya Tuhan tidak butuh permohonan yang merdu seperti itu. Tuhan ternyata lebih sederhana dari segala kerumitan yang ada dalam kepalaku. Tentangmu aku hanya bisa menyimpulkan sementara bahwa keinginan untuk memilikimu itu selalu menjadi hal utama dari sekian banyak rencanaku. Cinta ini lebih purba dari nafas.
Pada suatu musim hujan yang lalu, kamu menyapaku lewat sebuah pesan singkat. Sebelum sempat ku baca, bayangan tentang raut wajahmu seakan menghalau semua pikiranku tentang keburukan. Indah parasmu juga lentik matamu terbingkai rapi di bawah balutan kerudung hitam yang engkau kenakan di kepalamu. Engkaulah si gadis muslimat berkerudung hitam di sudut kota yang selalu ku beri nama senja. Pada baris pertama dari pesanmu tertulis kata manis yang paling sadis, “Untukmu sang pengembara hati yang tak pernah letih berjalan mencari cinta. Adakah kau temukan aku di relung gua hatimu yang dalam itu? Aku mencintaimu dengan segala tentangmu. Namun di lain hari, tak kutemukan engkau berada bersamaku di persimpangan jalan menuju tempat ibadah. Adakah setitik iman di hatimu? Atau kah engkau berasal dari keyakinan yang berbeda denganku?” Membaca pesan ini sempat membuatku terperangah di sudut kamarku. Aku tidak berdaya menjawab pertanyaanmu yang rumit itu. Di tengah kebimbangan yang amat dalam itu, aku mendengar suara azan dari sudut kota berpadu indah dengan dentangan lonceng Gereja memanggil umat beribadah. Syair indah dan segala madah puji dilantunkan dengan merdu untuk memuji Sang Khalik yang Mahatinggi. Aku amat yakin kalau kali ini pasti Tuhan mau mendengar permintaanku. Maka dengan segala niat yang tak pasti, aku memberanikan diri meminta kepada Tuhan agar Ia membiarkan kamu menjadi milikku. Namun dalam hatimu, engkau pasti meminta agar Tuhan yang sama menjauhkan aku darimu. Sungguh ku rasa doa kita seakan bertarung di langit mencari arti yang pasti. Andaikata saat itu aku tidak jatuh cinta kepadamu, maka aku tidak seperti ini. Memikirkanmu sama halnya dengan menciptakan mendung di mataku sendiri. Tetapi perihal mencintaimu itu selalu mengasyikkan, menentramkan jiwa.
Pernah sekali waktu aku berjalan menyusuri sudut kota sekedar ingin melihatmu di beranda senja sore itu. Sungguh di luar dugaan, aku melihat engkau sedang asyik melambaikan tanganmu kepada seorang anak kecil yang baru saja pulang mengarungi lautan badai bersama ayahnya dengan sepotong perahu kecil yang mereka miliki. Melihatmu seperti itu sama halnya aku sedang bahagia karena rinai hujan yang turun membasahi tanah yang telah lama gersang. Sebelum sempat kamu menoleh, aku menghampirimu sambil mengucapkan sepotong salam hangat, “Hai Aisha, gadisku yang berkerudung senja, masih ingatkah siapa aku? Setelah sekian lama, baru kali ini kita berjumpa lagi di tempat ini yang dulu kita sebut sudut kota”. Ia membalas salam itu dengan sepotong senyum indah yang terukir indah di bibir mungilnya. Sambil merapikan kerudungnya, ia lalu menjawab, “Adrian, si lelaki pengembara. Adakah aku sebagai luka di hatimu sehingga kamu tersesat dari jalan ini? Kini aku paham bahwa kita ternyata berbeda keyakinan. Tetapi satu hal yang perlu kamu ingat, aku yang dulu ketika pertama kita kenal sama dengan aku yang sekarang, kita hanya berbeda cara bukan berbeda rasa. Aku mencintaimu dan kamu mencintaiku. Kita jalani sebagai dua orang sahabat hanya agar rasa kita tak rusak dimakan waktu”. Kata-katanya ini menusuk hingga lubuk hati yang dalam. Hal yang aku pikirkan selama berhari-hari lalu ternyata salah. Aisha tetap mencintaiku, meskipun kami berbeda keyakinan. Sejak saat itu aku mulai tekun merawat kata dan tingkahku agar berkenan di hadapannya. Aku mencintainya lebih dari kata-kata yang aku ucapkan. Sekian tahun kami bersama, aku menyadari bahwa Aisha masih tetap dengan rasa cinta di hatinya dan aku pun begitu. Kami menjalaninya sebagai sepasang kekasih yang saling mencintai dengan banyak cara bukan dengan banyak kata.
Pada awal Maret menjelang bulan Ramadhan, ia mengatakan kepadaku perihal perjodohan antara dirinya dengan seorang lelaki yang diinginkan oleh orang tuanya. Lelaki itu adalah putera seorang pengusaha kaya di kota. Perjodohan ini dibuat atas nama kebahagiaan. Orang tuanya menginginkan agar Aisha memiliki seorang pasangan hidup yang mapan dan tentu seiman dengan dirinya. Kata-kata yang diucapkannya ini sungguh menyakitkan bagiku. Namun aku tidak sekalipun menyalahkannya atas situasi ini. Aku lebih sadar diri bahwa aku tidak termasuk dalam dua kategori yang diinginkan oleh orang tuanya; bukan pasangan yang seiman apalagi mapan. Bukannya pasrah, tapi memang demikian adanya; ibu saja aku tidak punya apalagi hidup berkelimpahan. Dan kalau hidup mapan pun aku tetap saja tidak bisa memilikimu sebab kita bukan pasangan yang seiman. Maka di persimpangan ini dapatkah aku mengelak teriak tentang hubungan kita yang tak bisa bersama selamanya? Sungguh hidup ini teramat mengerikan bagiku yang selalu tak bisa apa-apa.
Di akhir dari pertemuan kita sore itu, engkau menitipkan sebaris pesan yang tak terkira dalamnya. “Adrian, perihal mencintai sampai habis, rasa-rasanya tak akan pernah bisa terwujud antara kita berdua. Aku selalu menyadari bahwa cinta saja tidak cukup untuk menghidupi raga yang lemah ini. Aku pun membutuhkan iman yang cukup agar bisa selamat dunia dan akhirat. Selain itu, aku juga butuh yang mapan agar memberiku rasa aman bukan rasa lapar. Hidup serba kekurangan denganmu hanya akan membuatku menderita lahir batin. Sekali lagi, aku ini makhluk Tuhan yang banyak maunya. Jika aku denganmu itu sama halnya aku membawa diriku sendiri ke tepi jurang yang dalam.” Sungguh memilukan memikul hidup yang teramat susah ini. Sambil memalingkan mata ke sudut kota, aku melihat senja yang hampir usai; di sana aku mendengar deburan ombak menghantam pasir pantai. Ini seperti membuatku tak sanggup untuk hidup hingga esok harinya. Sungguh, apa yang lebih sepi daripada menanti seseorang yang tak pernah mengucapkan kata untuk kembali? Lalu di ujung dari semua kesakitan itu, aku mencoba merayu Tuhan agar berkenan menguatkanku yang sedang lemah itu. Aku bercerita kepada Tuhan tentang seorang gadis berkerudung senja yang sempat Ia titipkan kepadaku untuk ku jaga, namun kini ia telah pergi dariku membawa sejuta rasa cinta dan harapan tentang impian masa depan untuk hidup bersama yang ternyata takan pernah terwujud. Sesekali aku menyalahkan Tuhan atas kisahku yang pelik itu, “Tuhan Sang Mahacinta lagi sempurna, adakah doa-doaku lebih sedikit daripada dosa-dosaku hingga Kau timpakan kepadaku luka yang amat dalam ini? Masihkah mungkin aku mengatakan Engkau adil? Tak adakah setitik cinta untuk Engkau sematkan pada hati yang luka ini? Kalau boleh izinkan aku untuk bertemu dengannya sekali lagi, agar aku bisa meyakinkan dirinya kalau cinta itu tak selamanya harus sempurna; cinta butuh perjuangan dan kesetiaan bukan harus seiman dan mapan.”
Ketika pagi membangunkanku dan aku menyadari bahwa sudah sekian tahun kita tak saling memberi kabar, dan selama itu juga aku merasa Tuhan itu baik. Sebab, dengan segala kesibukan yang ku geluti belakangan ini, aku begitu bahagia karena merasakan kebaikan Tuhan yang selalu tak terkira. Aku sungguh mencintai diriku dan pekerjaanku sekarang. Selepas pergimu yang luka itu, kesendirian adalah diriku satu-satunya. Seperti dermaga yang memandang jauh hamparan samudra ada banyak kapal melintas ke segala penjuru, tapi tak ada satu pun yang singgah selain ombak berbuih mencari muka di kakinya. Seperti embun yang setelah diteteskan langit, dibiarkan merana di atas dedaunan yang bisu. Dan di dalam namamu yang kulafalkan sebagai amin bagi doa-doaku yang khusuk, aku hanyalah petualang yang kehilangan arah untuk berjalan. Maka sekali lagi kesendirianku adalah diriku yang utuh. Kenyataan membangunkanku dari kisah yang tak indah ini lalu aku berharap agar engkau tidak datang lagi dengan alasan apapun. Aisha dan segala tentangnya telah usai dalam hati dan kepalaku. Maka di sini, di sudut ruangan yang bernama nurani ada genderang batin yang tak kuasa berbohong mengatakan asal engkau bahagia, maka aku juga bahagia.
Meski engkau telah usai, namun di akhir dari kisah ini aku ingin menulis sebaris antologi kerinduan yang takan pernah tersampaikan, “Jika ada kata rindu yang paling menyakitkan, maka percayalah itu pasti merindukan masa silam. Rindu yang tak akan pernah bisa dilampiaskan karena satu kenyataan bahwa waktu tidak bisa diputar untuk sekedar mengulang segala kenangan.” Pada kisah kita tercipta kenangan dan angan yang tak pernah menjadi kenyataan. Aisha gadisku yang berkerudung senja, engkau kekal dalam rintik kata namun hanya tiupan angan dalam kenyataan. Kini, barangkali kita memiliki banyak maaf tapi tidak lagi memiliki kesempatan. Pada akhirnya aku ingin menitipkan pesan ini kepadamu, “cinta yang hanya menawarkan kebahagiaan adalah sebuah kebohongan terencana. Terkadang hati perlu patah, agar bijak menentukan arah”.
Andy Denatalis