“Aku menulis ini saat aku jatuh cinta. Saat aku tidak bisa melupakan masa lalu. Yang aku tahu, masa akan selalu melahirkan dua hal. kenangan dan pelajaran,” ucapku dengan jemari yang mulai menari di atas keyboard hitam yang siap diberi sentuhan hangat.
***
Bali, 20 Juni 2012
Hari Pertama, Jatuh Cinta
Dari jarak yang lumayan jauh, lelaki itu terus menatap seorang gadis yang sibuk membaca sebuah novel. Kadang senyum terpahat dibibirnya melihat jemari gadis itu membuka tiap lembar halaman. Tidak hanya itu, ia bahkan tertawa kecil saat melihat gadis itu mengerutu kesal saat membaca.
Matanya seakan tidak ingin berpindah arah. Gadis dengan rambut gelombang yang digerai itu, membuat satu kata terkait dipikirannya. Tertarik.
“Hei, gue boleh tanya nggak?” ucapnya pada seorang mahasiswa yang sedang berjalan melintasi taman.
“Yah. Mau tanya apa?”
“Lo kenal cewe yang di sana?” tanyanya sambil menunjuk ke arah gadis itu.
“Ohh, Revalina?” iyah kenal. Kenapa?
“Nggak. Cuman tanya. Thanks.” Ucapnya lalu kembali menatap gadis bernama Revalina itu dengan senyuman hangat. Okey, jadi namanya Revalina.
***
Hari Kedua, Berani Mendekatinya
Revalina berjalan menyusuri rak buku yang menjulang tinggi. Ia terus merapal-rapal judul buku yang ingin dibacanya. Jemari membantunya menemukan apa yang ia mau. Sampai akhirnya langkahnya terhenti oleh sosok lelaki tampan yang berada dicelah rak buku.
“Hay, Nama kamu Revalina yah?” Revalina dikejutkan dengan suara itu.
“Shuuutt...di Perpus tidak boleh ribut!” Disambarnya sebuah buku fiksi lalu Revanila berbalik meninggalkan lelaki itu.
Tanpa sepengetahuannya ternyata lelaki itu mengikutinya dari belakang sampai di meja tempat ia membaca.
“Saya Angga. Salam kenal,” ucap lelaki lelaki itu dengan suara sedikit berbisik. Revalina hanya menatapnya dengan judes. Tidak ingin menatap terlalu berlebihan. Menganggap suara itu hanya angin lalu.
“Mau kenal sama dia nggak?” tanyanya sambil menunjuk ke arah lelaki berjabul tebal membuat kening Reva mengerut. Lalu menjawab, “Nggak.”
“Kalau sama yang itu?”
“Nggak juga ihh!”
“Kalau sama saya? Siapa tahu dari kenalan jadi suka.” Reva menoleh karena merasa ada yang aneh lalu memukul Angga dengan buku di tangannya.
“Udah dibilangin tidak boleh ribut,” kesal Reva lalu menghindar dari hadapan Angga secepatnya. Kedua pipi Reva sudah terlihat sangat merah. Perpaduan antara malu dan marah.
“Aneh-aneh!”
***
Hari Ketiga, Membantunya
Fajar tiba mendapati titik embun yang membasahi helaian daun. Membiarkan matahari menjalankan tugasnya.
Revalina memasuki bus universitas. Melirik sambil mencari tempat kosong yang ternyata sudah penuh diisi mahasiswa/i Universitas Gajah Mada. Ia kesal karena terpaksa berdiri.
“Mau duduk di tempatku tuan putri?” suara serak yang khas terdengar menyapa Reva. Ia menole dan mendapati lelaki dengan rupa yang sama. Angga.
“Nggak usah!” tolaknya. Angga hanya tersenyum dan berjalan ke arah belakang bus. Memilih berdiri di bagian belakang dan menyisahkan tempatnya untuk gadis yang disukainya.
Duduklah. Batin Angga sambil mengintip ke arah bangkunya yang belum ditempati.
Revalina menoleh ke belakang. Mencari Angga yang tiba-tiba sudah hilang. Matanya memandang ke bangku milik lelaki itu yang telah kosong. Reva menarik senyum simpul kemudian duduk di kursi itu. Terima kasih.
Angga melirik ke depan. Di matanya purnama bersinar.
***
Hari Keempat, Mengajaknya Berdua?
Tidak ada yang lebih indah dari cinta pada pandangan pertama. Bayangkan saja. Kamu menyukai orang yang sama sekali tidak kamu ketahui kepribadiannya. Namun, sudah menyukainya dengan sekilas melihatnya. Mulai dari cara dia tersenyum sampai gerak-geriknya yang lucu. Mungkin nasibmu sama dengan Angga.
“Mau pulang bareng?” Angga dengan senyum yang tak akan lupa ia tampilkan tiap kali harus berhadapan dengan gadis pujaannya. Revelina.
Pertanyaan itu hanya dibalas dengan sikap cuek. Pandangan Revalina terus memandang ke depan. Tidak peduli dengan yang sedang menyapa.
Di atap bumi, langit mulai mendung. Gadis itu kelihatan panik. Angga terus memandangnya. Memperhatikan setiap tingkah yang dilakukan sang gadis.
“Sebentar lagi hujan. Yakin tidak mau menerima tawaran saya?” tanya Angga memastikan.
“Udah sana. Kamu pergi saja.”
Angga kembali tersenyum. Sudah kesekian kali tawarannya selalu di tolak sang gadis. Angga mengambil payung biru muda dari tasnya. Membuka payung itu lalu meletakannya.
“Jangan lupa pakai ini.” Ia kemudian menghilang dari tempat itu.
Revalina menatap teduh payung itu. Lelaki yang baik.
***
Hari Kelima, Belum Menyerah
Revalina menuruni tangga dengan buru-buru. Tanpa sengaja menabrak seorang mahasiswi yang sedang asyik dengan minuman cokelat. Baju yang berwarna putih kini terdapat noda di bagian lengan.
“Iyahh nggak apa-apa. Saya yang salah kok.” Bajunya kotor kini, tapi Revalina menyadari bahwa itu kekeliruannya. Ia terus berjalan dengan wajah memelas. Hari ini memang buruk baginya. Ia kembali menabrak seorang cowok yang sedang berjalan dengan langkah tergesa-gesa. Mungkin karena terlambat?
“Sorry...ehhh kamu? Ketemu lagi kita.” Wajah lelaki itu kelihatan sangat bahagia.
Revalina hanya mengangkat bahunya berusaha tidak peduli. Ia muak dengan lelaki itu. Cowok itu agak aneh baginya.
Manik mata Angga terlihat menatap lengan kemeja Reva yang terkena noda. Sontak ia mengambil tangan berwarna hijau tua untuk menghilangkan noda basah itu.
“Sapu tangan?” tanyanya lalu melirik kemeja Revelina. Karena tak ada respons, Angga mengambil tangan Reva lalu menaruh sapu tangan itu di telapak tangannya. “Pakai buat lap.”
Revalina menjentikan jemarinya yang masih memegang sapu tangan Angga, melemparnya dengan pelan tepat di wajah lelaki itu. “Nggak butuh.”
“Saya tidak pernah menyerah!” teriak Angga melihat Reva segera menjauh. Cinta baginya kadang serupa pertanyaan yang membingungkan tapi mengasikkan.
***
Pergi
Seperti biasa, gadis ‘kutu buku’ itu duduk di salah satu bangku taman. Ditangannya sebuah novel dengan cover berwarna putih. Bibirnya komat-kamit. Dahinya terus mengerut. Aktivitas seperti ini yang Angga suka. Matanya terus memandang dari jauh. Beban skripsi yang menumpuk lenyap dari pikirannya.
“Cie yang dilihatin,” ucap seorang gadis saat menangkap Angga yang sedang memperhatikan Revalina.
Revalina mengerutkan keningnya saat mendengar teguran dari mahasiswi yang dikenalnya dengan nama Dinda. Lantas, ia langsung menoleh ke belakang mendapati Angga yang sedang tersenyum memandangnya.
“Huhh, dia lagi!”
“Kelihatan lagi kasmaran sama kamu dehh. hehehe” Dinda menambahkan lagi dengan cengiran lebar lalu pergi dengan membawa buku-buku ditangannya.
Revalina menoleh ke belakang. Kali ini Angga menyatukan jemarinya berbentuk hati. Reva mendelikan bahu lalu melangkah mendekati Angga.
“Mending kamu pergi.”
“Kenapa”
“Kehadiran kamu itu menggangu hidupku dan saya tidak suka,” tegasnya memuntahkan amarah.
***
Rindu Yang Disembunyikan
Akhir-akhir ini, Revalina merasa seperti ada yang kurang. Aktivitasnya seperti tidak lengkap. Hari-harinya terasa sangat sepi.
Ia berjalan memasuki perpustakaan. Kembali pada rutinitas yang selalu ia lakukan. Mencari buku kesukaan. Memainkan jemari pada sampul-sampul buku. Menatap cover buku dengan design terkini. Namun, kali ini merasa ada yang kurang. Biasanya ada yang mengganggunya dari celah-celah buku. Tapi ia tidak ada kini. Lamunannya kembali pada saat-saat kesal dulu. Kok aku memikirkannya. Aneh.
Revalina mengambil beberapa buku yang ia perlukan. Memberi kartu pinjaman lalu keluar dari perpustakaan. Ia berdiri di bawah halte, menunggu bus universitas. Lelaki yang sering menganggunya itu pun tidak ada. Ia hanya menggelengkan kepala. Mengapa ia terus hadir dalam lamunanku?
Bus universitas datang. Seperti biasa, tidak ada bangku yang kosong. Ia melemparkan pandangan ke arah bangku yang biasa digunakan lelaki itu. Bukan dia di sana. Kemana dia?
Ia menatap datar ke jendela bus. Meraba kaca yang dibasahi embun. Sesuatu keanehan muncul dalam dirinya. Seperti ada yang kurang. Ia selalu merasa sunyi. Ia rindu kehadiran lelaki itu.
Apakah ia sudah lelah menunggu? Atau muak dengan sikapnya yang selalu acuh?
Revalina terus menatap penuh harap. Dari kaca jendela, bangunan-bangunan bisu. Awan terbang dalam sunyi. Kendaraan kota ramai. Tak ada yang peduli padanya.
“Mencari saya?”
Seketika ia menjadi kaku. Suara itu...
“Angga.”
Bus berhenti.
“Kemana kamu selama ini?”
“Mau jalan sama saya?”
“Kemana?” Revalina tersenyum dengan malu-malu.
“Menikmati dunia....Berkenalan dan berkelana.”
“Okeyy.”
Selesai
Oleh: Petrasia Febiana Rata. Siswi SMK Katolik Syuradikara Ende. Kelas X UPW