Maria; Wanita Penabur Luka
Namaku Leo. Usiaku dua puluh tiga tahun lebih sedikit. Aku seorang mahasiswa semester tiga jurusan filsafat. Ini kisahku. Pada satu musim dingin pertengahan Februari, aku tak sengaja bertemu seorang gadis bernama Maria. Ia berusia sedikit lebih muda dariku. Parasnya secantik melati di tengah semak. Matanya seteduh telaga. Untuk perjumpaan yang tak ku sangka-sangka ini, aku melukiskannya demikian. Pagi itu Aku menemukanmu di antara sekian banyak orang yang sedang antri menunggu taksi di halte kampus. Tak sengaja mata ini menaruh lirikan tepat pada wajahmu. Sungguh, sejenak jantungku berhenti berdetak. Aku hampir tak berdaya melihat indahnya senyum dan tatapan matamu yang teduh itu. Memang benar kata orang, cinta selalu tak disangka-sangka dan diterka kapan ia datang. Atau mungkin juga engkau sengaja tiba tepat di depan mataku. Setelah perjumpaan kita yang pertama itu, aku selalu terlena dalam bayangan tentang dirimu. Ingatan tentangmu bergelantungan di dalam kepalaku.
Beberapa hari sesudahnya, kita tak sengaja bertemu lagi di pendopo ruangan kelas. Ngeri benar ku rasa. Tampilanmu amat memukau mengacaukan seluruh ingatanku tentang keburukan. Yang hadir dalam kepalaku hanyalah keindahan. Lagi-lagi, senyumanmu mampu memikatku dalam hitungan detik. Kehadiranmu dalam kepalaku menata kembali kepingan-kepingan perasaan yang sudah lama berserakkan. Sungguh kurasa perjumpaan kita kali ini membuat rindu ini menggunung setiap saat. Aku merasa seakan-akan Tuhan sangat peduli denganku, hingga Ia titipkan satu bidadari untukku letakkan semua isi hati dan pikiranku. Bertemu denganmu seperti aku menemukan satu hal penting yang selama ini ku cari-cari dan kunantikan kedatangannya. Bertemu dan berjumpa denganmu membuat diriku selalu bergairah untuk hidup lebih lama lagi kemudian menghabiskan seluruh waktu bersamamu selamanya. Sekali waktu aku pernah berkhayal tentang kita yang sudah bersepakat menyatakan YA di hadapan Tuhan. Asyik memang memilikimu. Bagaimana tidak, wajahmu hampir selalu ada di sudut mataku. Pandanganku tak pernah kabur setiap melihatmu. Ketika kupegang tanganmu, sungguh terasa lembut dan menenangkan hati. Lalu kemudian aku berjanji untuk menjaga dan mencintaimu sepanjang hayat. Begitulah caraku berkhayal. Sungguh mengasyikkan, apalagi denganmu apapun itu selalu membahagiakan bagiku.
Waktu berlalu, pertemanan kita pun kian mesra. Sebelum tanggal empat belas Februari yang sering orang sebut dengan hari kasih sayang tiba, aku memberanikan diri untuk mengajakmu pergi ke restoran termahal di kota. Tidak lain adalah aku ingin memasang kembali tulang rusukku yang sempat hilang. Sewaktu tiba, aku tak sempat mengucapkan sepatah kata pun. Yang kudengar, yang kulihat hanyalah dirimu yang sedang mengalihkan perhatian tepat ke sudut ruangan itu. Aku seakan-akan melihat ada satu bayangan seorang lelaki berada tepat di sudut matamu. Aku sangat yakin itu bukan diriku. Seharusnya memang aku. Tapi sayangnya, engkau lebih memilih lelaki itu. Memang aku sadar kalau aku tak punya banyak hal yang bisa dibanggakan. Jangankan harta berlimpah, ibu saja aku tak punya. Tapi, engkau harusnya tahu kalau aku seringkali mengabaikan kebutuhan diriku hanya untuk memenuhi keperluanmu yang tidak biasa-biasa dan tidak gampang itu. Aku selalu berusaha untuk mencukupkan diriku seadanya saja, lalu sengaja memberikan semua yang engkau butuhkan. Aku membayangkan ini sama seperti membiarkan engkau berenang dalam emas dan bersayapkan uang kertas. Maka pada titik inilah sesungguhnya aku sudah mati berulang kali sebelum kematianku yang sesungguhnya datang.
Kejadian malam itu menjadi awal dari perpisahan kita. Setiap perjumpaan rasa-rasanya tak asyik seperti dulu lagi. Yang ada kini hanyalah kecurigaan yang menjengkelkan dengan kata-kata sumpah atas nama Tuhan. Setiap kali engkau harus menilai tentang sikapku yang menurutmu sudah berubah. Bagimu aku hanyalah seorang laki-laki sialan yang selalu saja menghalangi kebebasanmu untuk jatuh cinta dengan siapa saja. Memang ini sedikit murahan bagiku. Namun atas nama cinta, aku merelakan engkau untuk bebas jatuh cinta dengan siapa saja mungkin termasuk dengan teman dekatku sendiri. Saat itu aku sudah merasa bahwa hubungan ini memang tidak punya masa depan. Maka lebih baik aku pergi meskipun dengan sakit hati daripada bertahan dengan orang yang salah.
Bertahun-tahun kemudian, aku menerima sepucuk surat yang tak kutahu nama pengirimnya. Di bagian depan surat tertulis “Teruntuk kamu yang sempat singgah walau sebentar. Apakah kamu bahagia?” kata-kata ini sungguh membuatku tak berniat untuk membacakan isi suratnya. Karena bagiku kata-kata yang tertulis di awal surat menjadi inti dari keseluruhan isi surat itu. Belum sempat aku membacanya, sebuah pesan masuk di chatingan WhatsApp ku. Bunyinya demikian “Leo terkasih…aku Maria. Wanita penabur luka di hati mungkin juga ragamu. Tak banyak yang ingin kukatakan. Leo maafkanlah diriku yang banyak memberi duka bagi hatimu yang mahabaik itu. Semenjak perpisahan kita yang luka itu, aku menjadi tak terkendali sayang. Sakitnya amat perih. Lelaki silih berganti datang untuk menyakitiku secara kejam. Aku hampir mati. Leo bisakah engkau datang lagi? Aku menanti jawabmu Leo. Dari wanita yang pernah engkau anggap bidadari. Kutitipkan rindu ini untukmu Leo.” Membaca pesan ini aku seperti memeluk kesedihanku sendiri. Kata-katanya menggores kembali luka ini hingga tak berhenti berdarah. Ia mengalir deras tak tertahankan. Mengingatnya seperti membuat satu kesalahan yang besar. Tak ingin aku membalas chatingannya lewat kata, tapi sepotong kalimat kuucapkan padanya “Maria tersayang ada dua hal yang paling aku benci di dunia ini; sampah dan kamu. Dan kamu tahu kalau mengenalmu adalah kesalahan terbesar dalam hidupku”. Kataku ini mewakili seluruh isi hatiku. Menerimamu kembali dalam hidupku bisa jadi awal dari segala sialku. Maka dengan segenap isi hati dan isi kepalaku aku berani menolakmu kembali. “Maafkan jika ini terlalu kasar Maria. Tapi kali ini aku membiarkanmu untuk jatuh berulang kali dan tak memberi tangan untuk menolongmu. Bukan aku yang kejam. Tapi engkau sendiri yang terlalu tega.”
Perjumpaan kita yang kita mulai dengan sangat indah kini harus berakhir dengan sangat sadis. Engkau Maria rawatlah cintamu agar bertumbuh dan semerbak mewangi. Engkau doakan aku agar teguh dan kuat pada jalan yang kupilih setelah perpisahan kita. Tentang aku dan kamu Maria, dapat kukatakan; Aku adalah orang yang memegang gitar tanpa senar. Aku yang memegang tanganmu, tapi tidak memiliki hatimu. Di pertigaan ini, apa yang harus kutanyakan pada lampu merah, yang mengajari kita perihal menunggu. Setelah sekian jalan, aku harus berhenti sesaat. Mengulangi lagi kecurigaan, seperti mengulangi kehilangan. Manakala mengenal seseorang lebih dalam, kita bersiap tenggelam dalam-dalam. Aku yang kini, bukan aku yang kiri. Aku yang kelak, bukan aku yang kanan. Arahku adalah Allahku- sesuatu yang kutemukan setelah kalahku.
Andy Denatalis,