Mading

SMK Swasta Katolik Syuradikara

Awal Pebruari 2018, SMK Swasta Katolik Syuradikara, Ende, menggelar aneka lomba menyongsong Valentine’s Day yang melibatkan para siswa, siswi, dan semua guru-guru. Aneka lomba ini terdiri dari baca dan tulis puisi, lomba kerapian dan keapikan kelas, menulis karya ilmiah, dan melukis atau mewarnai pot-pot bunga supaya tampak indah. Dari berbagai proses dalam kegiatan lomba menyongsong Hari Kasih Sayang yang dirayakan setiap tanggal 14 Pebruari, SMK Syuradikara merumuskan semangat baru di tahun baru sebagai “Misi untuk mengubah mimpi, dari tiada menjadi ada.”

Tahun 2018 adalah waktu untuk mengubah mimpi dengan menaruh perhatian pada aspek seni dan budaya, yaitu “Seni sebagai cita-cita.” Tema ini ditegaskan oleh kepala sekolah SMK Syuradikara, Br. Pius Ledo, SVD.

“Sekolah yang hidup, mandiri, humanis, dan peka merupakan cita-cita bersama yang ingin kita wujudkan dalam setiap rancangan program di sekolah. Sekolah sebagai lembaga pendidikan mesti bertindak untuk memanusiakan manusia. Dengan kata lain, sekolah memanusiakan anak didik menjadi pribadi-pribadi handal di masa depan, maka fungsi guru atau pendidik ialah memotivasi anak didik setiap hari dengan nasihat-nasihat dan juga tindakan konkrit yang menyentuh pribadi anak didik,” kata Pak Sirilus Keiri.

“Seni sebagai cita-cita” sudah menjadi tema pokok untuk membongkar cita-rasa semua pihak, baik itu anak didik, guru-guru dan pegawai, masyarakat, bahkan negara yang mengatur dunia pendidikan itu sendiri. Dalam media kebanggan Indonesia seperti KOMPAS, disediakan kolom khusus mengenai seni dan budaya, maka pelbagai artikel kritik sastra, kritik musik, kritik seni rupa terus ditulis oleh seniman-seniman Indonesia; atau kita tidak perlu berlari jauh lantaran media-media lokal seperti Pos Kupang dan Flores Pos pun turtut membuka ruang imajinasi yang menyentuh kita pada setiap hari Minggu dan hari Selasa. Dengan melihat pada ungkapan “Seni sebagai cita-cita”, maka SMK Swasta Katolik Syuradikara sedang melihat jauh ke depan, yaitu mengubah mimpi anak-anak didik menjadi seniman-seniman handal yang siap dipakai oleh masyarakat dan negara. Ini berarti sekolah selalu bermimpi setiap hari dalam dua semester yang terus berjalan.

Pada tahun ini (2018), seni harus selalu hidup atau seni harus selalu “berkicau” kapan dan di mana saja. Artinya, semua pihak terkait dalam lembaga pendidikan mengatur anak-anak didik untuk menyuarakan seni melalui kerja tangan (opus manuale). Kerja tangan tidak hanya melatih anak didik untuk bekerja semata, memaksa kegiatan fisik saja, melainkan membentuk mentalitas dalam diri anak didik supaya memiliki inisiatif dan kreativitas yang bisa mengubah masa depan mereka menjadi lebih cerah. Pada tataran ini, sekolah tidak hanya menuntut anak didik belajar untuk mendapatkan nilai di atas kertas, melainkan mengubah individu-individu menjadi orang atau manusia seutuhnya di dalam sekolah maupun di luar jam sekolah (humanisasi). Dengan kata lain, anak didik siap bekerja atau siap pakai ketika sudah selesai menamatkan pendidikan di Perguruan Tinggi.

Dua Persoalan Dasar

Bruder Kepala SMK Syuradikara dalam input edukatif pada pertemuan bersama beberapa guru dan anak didik saat mendiskusikan program-program awal semester dua terkait planning kegiatan beberapa bulan ke depan mengedepankan dua persoalan dasar.

Pertama, sekolah bukan hanya menjadi lingkungan tempat bermain dan belajar semata, tetapi menjadi locus berekspresi untuk mengembangkan bakat atau talenta yang dimiliki masing-masing orang. Menurut kepala sekolah, sekolah harus “membongkar hal-hal yang terpendam” untuk diejawantakan kepada sesama di dalam sekolah maupun di luar sekolah.

“Belajar saja tidak cukup. Belajar harus diikuti dengan konkretisasi tindakan. Dalam hal ini, bakat atau talenta dibongkar keluar dari dalam diri supaya dinikmati oleh setiap orang,” kata Br. Pius Ledo, SVD.

Kedua, sekolah yang kurang mencintai seni karena seni dilihat sebagai hal yang tidak disukai atau tidak diminati oleh siswa maupun siswi. Adanya ketakutan untuk jatuh cinta dengan dunia seni seperti seni musik, seni sastra, seni drama, dan seni rupa. Banyak anak didik yang tidak tahu membaca not-not angka karena mengandalkan daya ingat atau menghafal dalam latihan-latihan lagu untuk kegiatan koor pada saat misa maupun kegiatan kunjungan ke kampung-kampung. Mereka hanya mengikuti kegiatan sekolah karena tuntutan, tetapi tidak memperhatikan nilai guna dari kegiatan tersebut. Dengan kata lain, siswa dan siswi hanya menguasai teori tanpa praktik.

Untuk mengatasi persoalan ini, maka sekolah mesti membuka mata dan melihat secara jelih situasi riil dari setiap anak-anak didik. Hal ini penting serentak menjadi cermin edukatif, bahwa guru atau pendidik tidak berjalan sendiri atau hanya mengajarkan teori di depan kelas, tetapi guru memiliki fungsi kontrol yang penuh sambil menggali dan menemukan karekter-karakter anak didiknya.

Seperti hal yang pernah disinggung mendiang Romo Mangun bahwa banyak sekolah-sekolah menengah pada umumnya hanya mengarahkan anak didik pada perguruan tinggi, sementara pendidikan menegah kejuruan kurang berkembang, baik dari segi jumlah sekolah, pengembangan program dan terlebih minat siswa yang masuk ke sekolah kejuruan tampak begitu minim. Hal ini terjadi karena sekolah pada dasarnya hanya mengajarkan teori tanpa praktik, padahal teori dan praktik merupakan dua pokok penting yang saling berhubungan satu sama lain.

Oleh karena itu, misi sekolah untuk “Mengubah mimpi, dari tiada menjadi ada”, menurut penulis merupakan awal yang bagus. Artinya, sekolah memberi peluang kepada anak-anak didik dan guru serta pegawai untuk bekerja sama. Tujuannya ialah mewujudkan mimpi yang dicita-citakan secara bersama-sama. Aneka lomba seperti baca dan tulis puisi, mewarnai pot-pot bunga, menulis karya ilmiah, dan lain-lain merupakan ukuran yang dipakai untuk mengukur sejauh mana anak didik di SMK Swasta katolik Syuradikara akan belajar dan berjuang menjadi pribadi-pribadi yang seni. Mimpi ini tidak lain merupakan cita-cita, maka seni dan budaya adalah cita-cita semua sekolah di mana saja.

Fungsi Kontrol

Guru Bahasa dan Sastra Indonesia, Ibu Maria regina Rei, S.Pd menilai bahwa aktivitas seni merupakan kunci masa depan anak-anak didik karena di suatu saat nanti, kita akan melihat anak-anak kita menjadi manusia atau seniman-seniman handal, misalnya penyair, pelukis, penulis hebat, pencinta budaya, guru, dan lain-lain. Untuk itu, menurut beliau, sekolah harus menyediakan sarana dan prasarana yang menunjang kelancaran dari semua proses tersebut. Tentu saja, fungsi kontrol sekolah yang paling pertama terletak pada kepala sekolah, namun tidak terlepas dari guru-guru atau pendidik.

Sekolah adalah Rahim Para Seniman

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, sekolah bukan hanya lingkungan bermain semata, melainkan sebuah locus untuk mengubah hal yang belum ada, menjadi ada. SMK Syuradikara sedang berjuang menunjukkan kepada dunia, bahwa sekolah adalah ibu kedua yang menyiapkan rahimnya untuk melahirkan dan membesarkan pribadi anak-anak didik ke seluruh pelosok negeri ini.

“Sekolah adalah rahim seni karena di dalam lembaga pendidikan terdapat aktivitas seni itu sendiri, seperti seni mengajar, seni bekerja, seni berbicara, seni menghargai dan menghormati, seni mendisiplinkan diri, dan lain-lain, maka kita yang menamakan diri sebagai bagian dari sebuah sekolah sebaiknya menjadi rahim untuk melahirkan dan membesarkan nama sekolah supaya harum di level lokal, nasional, maupun internasional,” kata Bruder Pius.

Br. Pius Ledo, SVD mengatakan bahwa seni bukan hanya untuk seni semata, melainkan seni untuk hidup dan panggilan semua pribadi-pribadi. Dengan menjadi seniman berarti kita menjalankan misi untuk merasa memiliki atau semakin mencintai sekolah sebagai rumah milik sendiri. Rumah yang penuh dengan kenyamanan, keindahan dari dalam terpancar ke luar. Dengan kata lain, sekolah yang mencintai seni merupakan sekolah yang akan selalu menghidupkan seni untuk semua orang.

Diterbitkan di Flores Pos

 

Peta Lokasi

Social Media