Pada tahun 2000, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) mengumumkan peringkat Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala mengindikasikan bahwa di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Ada juga hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC)menyebutkan bahwa pendidikan Indonesia terburuk di kawasan Asia. Ada 12 negara yang disurvei oleh lembaga yang berpusat di Hongkong ini. Hasil survei menyebutkan Korea Selatan memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang, Taiwan, India, Cina dan Malaysia, sementara Indonesia menduduki urutan ke-12 di bawah Vietnam (KOMPAS, 5/9/2001).
Kemudian, UNICEF juga membuat laporan pada tahun 2012 bahwa banyak anak-anak yang masuk sekolah dasar, namun sebuah kajian tentang Anak Putus Sekolah yang dilakukan bersama dengan Kementerian Pendidikan dan UNESCO di tahun 2011 menunjukkan bahwa 2,5 juta anak usia 7-15 tahun masih tidak bersekolah. Banyak dari mereka yang putus sekolah sewaktu menjalani masa transisi dari SD ke SMP.
Selanjutnya, mari kita lihat Indeks Pembangunan Pendidikan atau Education Development Index (EDI). EDI dikatakan tinggi jika mencapai 0,95-1. Kategori medium di atas 0,80, sedangkan kategori rendah di bawah 0,80. Berdasarkan data dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2010 yang dikeluarkan UNESCO, EDI Indonesia tahun 2007 adalah 0,947. Nilai itu naik dari tahun sebelumnya yang mencapai 0,925.
Di Indonesia, indeks pembangunan pendidikan untuk semua atau education for all membaik pada tahun 2010 di mana Indonesia pada saat itu berada di urutan ke-65 dari 128 negara. Sebanyak 62 negara berada dalam kategori pencapaian tinggi, di antaranya Brunei. Sebanyak 36 negara di kategori sedang, di antaranya Indonesia, Malaysia (69), dan Filipina (85). Sisanya masuk dalam kategori rendah, seperti India, Kamboja, Laos, dan Nigeria (KOMPAS, 19/1/2010).
EDI yang mencapai kategori sedang dalam konteks Indonesia merupakan hal yang patut diapresiasi. Namun, dengan menyelisik hasil survei tahun-tahun sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa kualitas pendididkan di Indonesia masih jauh panggang dari api, maka tulisan ini hendak menyoroti implemaentasi regulasi pendidikan dalam praksis dan menegaskan kembali supaya pendidikan kita back to basic atau kembali ke dasar, yaitu proses hominisasi dan humanisasi itu sendiri.
Implementasi Regulasi Pendidikan dalam Praksis
Dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah telah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN. Regulasi pemerintah pusat dan daerah pun sudah dijalankan sepanjang tahun, misalnya pada periode 2004-2006 direvisi dua kurikulum yang berlaku, yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KBK sendiri disusun untuk memenuhi pencapaian penguasaan keterampilan (skill) siswa untuk bertahan hidup, menyesuaikan diri, dan berhasil di masa depan. Sedangkan, melalui KTSP, sekolah dapat mengembangkan kurikulum pendidikan berdasarkan kapasitas masing-masing, dengan mengacu pada standar isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL).
Dalam kenyataannya, perubahan kurikulum yang dilakukan pemerintah sejak dahulu sampai sekarang justru memengaruhi pendidikan sekarang. Ada keuntungan yang diperoleh dari perubahan ini dan sebaliknya.
Hemat penulis, setiap implementasi regulasi pendidikan yang dirancang in se baik adanya. Akan tetapi, hal yang menjadi persoalan dasar pendidikan sekarang ialah tidak adanya landasan filosofis sebagai acuan implementasi regulasi yang baik. Anak didik hanya diarahkan kepada usaha meraih nilai di atas kertas dan merasa bangga karena memeroleh nilai yang bagus. Tentu saja, efektivitas nilai-nilai yang lebih humanis seperti budi pekerti, sopan santun, penghargaan terhadap yang lain di luar dirinya, pengembangan minat dan bakat, dll terlupakan. Atas dasar ini, Almarhum J.B. Mangunwijaya pernah mengkritik kekurangan pemerintah karena sekolah menegah pada umumnya hanya diarahkan pada perguruan tinggi, sementara pendidikan menegah kejuruan kurang berkembang, baik dari segi jumlah sekolah, pengembangan program maupun minat siswa yang masuk ke sekolah kejuruan tampak begitu minim.
Oleh sebab itu, paradigma pendidikan seperti apa yang mesti dijadikan pilihan? Pertanyaan ini akan menantang nurani kita supaya mencari landasan filosofis yang mesti dipakai dalam mengatasi keterbelakangan pendidikan kita.
Back to Basic: Hominisasi dan Humanisasi
Untuk mengupayakan pengembangan pendidikan di Indonesia ke arah yang lebih baik, maka pendidikan harus kembali kepada dasarnya. Artinya, pendidikan mesti kembali kepada keluarga, sekolah, masyarakat, dan yang terakhir ialah pemerintah. Di sini, hal yang perlu dilihat ialah efektivitas hominisasi dan humanisasi. Hominisasi sejatinya adalah proses pemanusiaan manusia secara umum. Artinya, proses pendidikan mesti menjadi kegiatan sadar untuk memanusiakan anak-anak didik atau usaha memasukkan anak-anak didik dalam lingkup kehidupan manusiawi secara minimal. Sesudah anak-anak masuk dalam lingkup manusiawi, pendidikan selanjutnya ialah memanusiakan anak-anak dalam proses humanisasi dengan maksud anak-anak didik akan bertindak manusiawi dalam seluruh proses hidupnya. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pendidikan sebagai proses hominisasi dan humanisasi.
Pertama, dengan mempertimbangkan secara baik lingkungan di mana anak-anak berada dan berdiri karena sesudah anak-anak dilahirkan ke dunia, mereka tidak semestinya menjadi sangat manusiawi. Di sini, peran keluarga sebagai pendidik primer menjadi kunci. Relasi suami-istri (orang tua) merupakan proses “kesalingan”, atau ada dinamika timbal-balik di antara suami-istri dan anak-anak.
Proses “kesalingan” ini akan menentukan anak-anak menjadi pribadi-pribadi yang baik karena mendapat perhatian dan kasih sayang dari orang tua sebagai guru pertama. Orang tua mesti memberi teladan dan mengarahkan anak-anak untuk bertindak manusiawi, misalnya anak diajarkan untuk mendengarkan. Tentu saja, anak yang mendengarkan berbeda dengan anjing yang mendengar. Oleh sebab itu, anak-anak dididik supaya tidak bertindak seperti binatang, maka orang tua mesti mengajarkan nilai-nilai humanis. Artinya, nilai kejasmanian dan kerohanian anak perlu diperhatikan. Anak dilatih untuk berpikir menggunakan akal sehat dan bertindak pula secara sehat.
Kedua, dengan mempertimbangkan secara baik sekolah atau lembaga formal yang baik untuk tempat belajar bagi anak-anak. Di sini, peran keluarga masih terus dijalankan. Dalam arti, orang tua melihat bakat dan kemampuan anak-anak dan mempertimbangkan lembaga formal yang dipilih, misalnya setelah anak lulus sekolah menegah, mereka diberi kebebasan untuk memilih sekolah seturut minatnya. Tentu saja, orang tua tidak mesti membatasi kehendak anak. Di sisi lain, guru sebagai pendidik kedua juga memerhatikan kualitas yang dimiliki anak-anak didik serentak mengarahkan anak untuk membuat pilihan yang baik dan berguna bagi mereka.
Lembaga formal atau sekolah yang dimulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi bertugas untuk memberikan pelajaran-pelajaran tentang nilai-nilai yang baik, bimbingan, dan keterampilan. Pada tataran ini, anak-anak juga diarahkan kepada cara berpikir kritis dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang mesti dilakukan dan mana yang mesti dihindari. Hal ini dipertimbangkan karena anak sudah bergerak keluar dari keluarga menuju sekolah dan berhadapan langsung dengan situasi di dalam masyarakat.
Ketiga, dengan mempertimbangkan pula lingkup masyarakat di mana anak berada, bergaul, berelasi, dan belajar karena konteks masyarakat juga turut membentuk kepribadian anak-anak. Apabila anak masuk dalam ruang lingkup masyarakat yang penuh dengan kekerasan dan kejahatan, maka anak akan menjalani kehidupan yang keras, bahkan bisa mengarah kepada pelanggaran hak asasi, dll. Jika ini terjadi, maka tugas keluarga dan sekolah dinilai gagal.
Ketiga lembaga ini adalah kunci untuk memperbaiki pengembangan pendidikan yang lebih humanis. Dengan kata lain, selain pemerintah, keluarga, sekolah, dan masyarakat bekerja sama untuk menjernihkan pikiran dan nurani anak-anak supaya ketika mereka sudah berhasil menjadi manusia, hal yang mesti dilakukan ialah menggunakan pikiran dan nurani untuk bertindak secara baik dan benar.
Dengan demikian, dasar filosofis yang diambil untuk memerangi hiruk-pikuk pendidikan di Indonesia ialah back to basic atau kembali kepada pendidikan dasar humaniora (hominisai dan humanisasi) yang dimulai dari dalam keluarga, lembaga formal dari sekolah sampai perguruan tinggi, masyarakat, dan pemerintah. Oleh karena itu, kolaborasi antara elemen-elemen tersebut menjadi kunci untuk membebaskan kebodohan dan keterbatasan yang menjadi penghalang bagi dinamika dan kemajuan dalam hidup manusia.*