KASIH
Pada suatu entah
Ku ayunkan langkah menuju dada sang ibu
Wanita dengan senyum berimbun
tempat segala pulang
Pernah ibuku berteriak keras
Menyebut namaku dengan lantang
Saat hangat tubuhku telah berbaur kabut malam
Dengan sayang pandang matanya menuju
Di bibirnya kata demi kata berguguran
Di luar bulan masih menggantung sepi
Bahwa rumah bukan ilusi
Rumah bukan mimpi
Rumah adalah puisi
Aku mesti kembali
Sebelum mentari di batas hari
Kembali ke dada sang ibu
Lentik jarinya terus membelai rambutku
Hangat napasnya terasa hingga di sudut jiwaku
Aku seperti kembali pada firdaus yang pernah dikisahkan itu
“Nak. . .”
Begitulah ibu mengawali petuah
“Hidup terlampau panjang sedang kita ini singkat.
Mengembaralah hingga lembar buku yang paling jauh.
Masukilah setiap pintu hati dengan tatapan kasih.
Bawalah segengam senyum bila engkau tak punya roti.”
Aku memang rapuh
Kadang butuh juga untuk ditabuh
Agar tidak terus berlabuh
Hidup perlu dikayuh
Jarum detik terus berlari
Aku tak tahu kapan semuanya berhenti
Tetapi ada satu yang pasti
Saat itu hatiku terasa damai
Pernah aku menipu ibu
Demi sebuah cinta di suatu malam minggu
Bapak kala itu masih di tanah rantau
Memang tidak ada yang memantau
Namun jiwaku terasa sangat kacau
Kini ibuku ditelan sepi
Langit membawanya kembali
Pada sudut hati yang paling jauh
Sempat aku mengeluh
“Apakah Allah masih bernama Kasih?”
Ini bukan tentang teori
Apalagi menyentuh filosofi
Aku juga buta soal teologi
Ibuku yang penyayang itu pernah berujar
“hiduplah dengan hati yang kaya akan kasih”
Karya : Petrasia Febiana Rata
NB. Juara 1 Cipta dan Baca Puisi antar SMK Sekabupaten Ende