Puisi

KASIH

 

Pada suatu entah

Ku ayunkan langkah menuju dada sang ibu

Wanita dengan senyum berimbun

 tempat segala pulang

 

Pernah ibuku berteriak keras

Menyebut namaku dengan lantang

Saat hangat tubuhku telah berbaur kabut malam

 

Dengan sayang pandang matanya menuju

Di bibirnya kata demi kata berguguran

Di luar bulan masih menggantung sepi

Bahwa rumah bukan ilusi

Rumah bukan mimpi

Rumah adalah puisi

Aku mesti kembali

Sebelum mentari di batas hari

 

Kembali ke dada sang ibu

Lentik jarinya terus membelai rambutku

Hangat napasnya terasa hingga di sudut jiwaku

Aku seperti kembali pada firdaus yang pernah dikisahkan itu

 

“Nak. . .”

Begitulah ibu mengawali petuah

“Hidup terlampau panjang sedang kita ini singkat.

Mengembaralah hingga lembar buku yang paling jauh.

Masukilah setiap pintu hati dengan tatapan kasih.

Bawalah segengam senyum bila engkau tak punya roti.”

 

Aku memang rapuh

Kadang butuh juga untuk ditabuh

Agar tidak terus berlabuh

 Hidup perlu dikayuh

 

Jarum detik terus berlari

Aku tak tahu kapan semuanya berhenti

Tetapi ada satu yang pasti

Saat itu hatiku terasa damai

 

Pernah aku menipu ibu

Demi sebuah cinta di suatu malam minggu

Bapak kala itu masih di tanah rantau

Memang tidak ada yang memantau

Namun jiwaku terasa sangat kacau

 

 

 

Kini ibuku ditelan sepi

Langit membawanya kembali

Pada sudut hati yang paling jauh

Sempat aku mengeluh

“Apakah Allah masih bernama Kasih?”

 

 

Ini bukan tentang teori

Apalagi menyentuh filosofi

Aku juga buta soal teologi

Ibuku yang penyayang itu pernah berujar

“hiduplah dengan hati yang kaya akan kasih”

 

 

 

Karya : Petrasia Febiana Rata

 

NB. Juara 1 Cipta dan Baca Puisi antar SMK Sekabupaten Ende

Peta Lokasi

Social Media